Minggu, 04 September 2011


pemeriksaan saraf kranial


BAB 1
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
PEMERIKSAAN SARAF KRANIAL
Pemeriksaan saraf merupakan salah satu dari rangkaian pemeriksaan neurologis yang terdiri dari; 1). Status mental, 2). Tingkat kesadaran, 3).Fungsi saraf kranial, 4). Fungsi motorik, 5). Refleks, 6). Koordinasi dan gaya berjalan dan 7). Fungsi sensori
Agar pemeriksaan saraf kranial dapat memberikan informasi yang diperlukan, diusahakan kerjasama yang baik antara pemeriksa dan penderita selama pemeriksaan. Penderita seringkali diminta kesediaannya untuk melakukan suatu tindakan yang mungkin oleh penderita dianggap tidak masuk akal atau menggelikan. Sebelum mulai diperiksa, kegelisahan penderita harus dihilangkan dan penderita harus diberi penjelasan mengenai pentingnya pemeriksaan untuk dapat menegakkan diagnosis. Memberikan penjelasan mengenai lamanya pemeriksaan, cara yang dilakukan dan nyeri yang mungkin timbul dapat membantu memupuk kepercayaan penderita pada pemeriksa. Penderita diminta untuk menjawab semua pertanyaan sejelas mungkin dan mengikuti semua petunjuk sebaik mungkin. Suatu anamnesis lengkap dan teliti ditambah dengan pemeriksaan fisik akan dapat mendiagnosis sekitar 80% kasus. Walaupun terdapat beragam prosedur diagnostik modern tetapi tidak ada yang dapat menggantikan anamnesis dan pemeriksaan fisik.






BAB II
PEMBAHASAN
Saraf-saraf kranial langsung berasal dari otak dan meninggalkan tengkorak melalui lubang-lubang pada tulang yang dinamakan foramina, terdapat 12 pasang saraf kranial yang dinyatakan dengan nama atau dengan angka romawi. Saraf-saraf tersebut adalah olfaktorius (I), optikus (II), Okulomotorius (III), troklearis (IV), trigeminus (V), abdusens (VI), fasialis (VII), vestibula koklearis (VIII), glossofaringeus (IX), vagus (X), asesorius (XI), hipoglosus (XII). Saraf kranial I, II, VII merupakan saraf sensorik murni, saraf kranial III, IV, XI dan XII merupakan saraf motorik, tetapi juga mengandung serabut proprioseptif dari otot-otot yang dipersarafinya. Saraf kranial V, VII, X merupakan saraf campuran, saraf kranial III, VII dan X juga mengandung beberapa serabut saraf dari cabang parasimpatis sistem saraf otonom.
II. 1. DEFINISI Saraf-saraf kranial dalam bahasa latin adalah Nervi Craniales yang berarti kedua belas pasangan saraf yang berhubungan dengan otak mencakup nervi olfaktorii (I), optikus (II), okulomotorius (III), troklearis (IV), trigeminus (V), abdusens (VI), fasialis (VII), vestibulokoklearis (VIII), glosofaringeus (IX), vagus (X), asesorius (XI), hipoglosus (XII).
Gangguan saraf kranialis adalah gangguan yang terjadi pada serabut saraf yang berawal dari otak atau batang otak, dan mengakibatkan timbulnya keluhan ataupun gejala pada berbagai organ atau bagian tubuh yang dipersarafinya.
II. 2. ANATOMI DAN FISIOLOGI
1)SARAF OLFAKTORIUS (N.I) Sistem olfaktorius dimulai dengan sisi yang menerima rangsangan olfaktorius. Sistem ini terdiri dari bagian berikut: mukosa olfaktorius pada bagian atas kavum nasal, fila olfaktoria, bulbus subkalosal pada sisi medial lobus orbitalis.
Saraf ini merupakan saraf sensorik murni yang serabut-serabutnya berasal dari membran mukosa hidung dan menembus area kribriformis dari tulang etmoidal untuk bersinaps di bulbus olfaktorius, dari sini, traktus olfaktorius berjalan dibawah lobus frontal dan berakhir di lobus temporal bagian medial sisi yang sama. Sistem olfaktorius merupakan satu-satunya sistem sensorik yang impulsnya mencapai korteks tanpa dirilei di talamus. Bau-bauan yang dapat memprovokasi timbulnya nafsu makan dan induksi salivasi serta bau busuk yang dapat menimbulkan rasa mual dan muntah menunjukkan bahwa sistem ini ada kaitannya dengan emosi. Serabut utama yang menghubungkan sistem penciuman dengan area otonom adalah medial forebrain bundle dan stria medularis talamus. Emosi yang menyertai rangsangan olfaktorius mungkin berkaitan ke serat yang berhubungan dengan talamus, hipotalamus dan sistem limbik.
2)SARAF OPTIKUS (N. II) Saraf Optikus merupakan saraf sensorik murni yang dimulai di retina. Serabut-serabut saraf ini, ini melewati foramen optikum di dekat arteri optalmika dan bergabung dengan saraf dari sisi lainnya pada dasar otak untuk membentuk kiasma optikum. Orientasi spasial serabut-serabut dari berbagai bagian fundus masih utuh sehingga serabut-serabut dari bagian bawah retina ditemukan pada bagian inferior kiasma optikum dan sebaliknya.
Serabut-serabut dari lapangan visual temporal (separuh bagian nasal retina) menyilang kiasma, sedangkan yang berasal dari lapangan visual nasal tidak menyilang. Serabut-serabut untuk indeks cahaya yang berasal dari kiasma optikum berakhir di kolikulus superior, dimana terjadi hubungan dengan kedua nuklei saraf okulomotorius. Sisa serabut yang meninggalkan kiasma berhubungan dengan penglihatan dan berjalan di dalam traktus optikus menuju korpus genikulatum lateralis. Dari sini serabut-serabut yang berasal dari radiasio optika melewati bagian posterior kapsula interna dan berakhir di korteks visual lobus oksipital. Dalam perjalanannya serabut-serabut tersebut memisahkan diri sehingga serabut-serabut untuk kuadran bawah melalui lobus parietal sedangkan untuk kuadaran atas melalui lobus temporal. Akibat dari dekusasio serabut-serabut tersebut pada kiasma optikum serabut-serabut yang berasal dari lapangan penglihatan kiri berakhir di lobus oksipital kanan dan sebaliknya.
3)SARAF OKULOMOTORIUS (N. III) Nukleus saraf okulomotorius terletak sebagian di depan substansia grisea periakuaduktal (Nukleus motorik) dan sebagian lagi di dalam substansia grisea (Nukleus otonom). Nukleus motorik bertanggung jawab untuk persarafan otot-otot rektus medialis, superior, dan inferior, otot oblikus inferior dan otot levator palpebra superior. Nukleus otonom atau nukleus Edinger-westhpal yang bermielin sangat sedikit mempersarafi otot-otot mata inferior yaitu spingter pupil dan otot siliaris.
4)SARAF TROKLEARIS (N. IV) Nukleus saraf troklearis terletak setinggi kolikuli inferior di depan substansia grisea periakuaduktal dan berada di bawah Nukleus okulomotorius. Saraf ini merupakan satu-satunya saraf kranialis yang keluar dari sisi dorsal batang otak. Saraf troklearis mempersarafi otot oblikus superior untuk menggerakkan mata bawah, kedalam dan abduksi dalam derajat kecil.
5)SARAF TRIGEMINUS (N. V) Saraf trigeminus bersifat campuran terdiri dari serabut-serabut motorik dan serabut-serabut sensorik. Serabut motorik mempersarafi otot masseter dan otot temporalis. Serabut-serabut sensorik saraf trigeminus dibagi menjadi tiga cabang utama yatu saraf oftalmikus, maksilaris, dan mandibularis. Daerah sensoriknya mencakup daerah kulit, dahi, wajah, mukosa mulut, hidung, sinus. Gigi maksilar dan mandibula, dura dalam fosa kranii anterior dan tengah bagian anterior telinga luar dan kanalis auditorius serta bagian membran timpani.
6)SARAF ABDUSENS (N. VI) Nukleus saraf abdusens terletak pada masing-masing sisi pons bagian bawah dekat medula oblongata dan terletak dibawah ventrikel ke empat saraf abdusens mempersarafi otot rektus lateralis.
7)SARAF FASIALIS (N. VII) Saraf fasialis mempunyai fungsi motorik dan fungsi sensorik fungsi motorik berasal dari Nukleus motorik yang terletak pada bagian ventrolateral dari tegmentum pontin bawah dekat medula oblongata. Fungsi sensorik berasal dari Nukleus sensorik yang muncul bersama nukleus motorik dan saraf vestibulokoklearis yang berjalan ke lateral ke dalam kanalis akustikus interna. Serabut motorik saraf fasialis mempersarafi otot-otot ekspresi wajah terdiri dari otot orbikularis okuli, otot buksinator, otot oksipital, otot frontal, otot stapedius, otot stilohioideus, otot digastriktus posterior serta otot platisma. Serabut sensorik menghantar persepsi pengecapan bagian anterior lidah.
8)SARAF VESTIBULOKOKLEARIS (N. VIII) Saraf vestibulokoklearis terdiri dari dua komponen yaitu serabut-serabut aferen yang mengurusi pendengaran dan vestibuler yang mengandung serabut-serabut aferen yang mengurusi keseimbangan. Serabut-serabut untuk pendengaran berasal dari organ corti dan berjalan menuju inti koklea di pons, dari sini terdapat transmisi bilateral ke korpus genikulatum medial dan kemudian menuju girus superior lobus temporalis. Serabut-serabut untuk keseimbangan mulai dari utrikulus dan kanalis semisirkularis dan bergabung dengan serabut-serabut auditorik di dalam kanalis fasialis. Serabut-serabut ini kemudian memasuki pons, serabut vestibutor berjalan menyebar melewati batang dan serebelum.
9)SARAF GLOSOFARINGEUS (N. IX) Saraf Glosofaringeus menerima gabungan dari saraf vagus dan asesorius pada waktu meninggalkan kranium melalui foramen tersebut, saraf glosofaringeus mempunyai dua ganglion, yaitu ganglion intrakranialis superior dan ekstrakranialis inferior. Setelah melewati foramen, saraf berlanjut antara arteri karotis interna dan vena jugularis interna ke otot stilofaringeus. Di antara otot ini dan otot stiloglosal, saraf berlanjut ke basis lidah dan mempersarafi mukosa faring, tonsil dan sepertiga posterior lidah.
10)SARAF VAGUS (N. X) Saraf vagus juga mempunyai dua ganglion yaitu ganglion superior atau jugulare dan ganglion inferior atau nodosum, keduanya terletak pada daerah foramen jugularis, saraf vagus mempersarafi semua visera toraks dan abdomen dan menghantarkan impuls dari dinding usus, jantung dan paru-paru.
11)SARAF ASESORIUS (N. XI) Saraf asesorius mempunyai radiks spinalis dan kranialis. Radiks kranial adalah akson dari neuron dalam nukleus ambigus yang terletak dekat neuron dari saraf vagus. Saraf aksesoris adalah saraf motorik yang mempersarafi otot sternokleidomastoideus dan bagian atas otot trapezius, otot sternokleidomastoideus berfungsi memutar kepala ke samping dan otot trapezius memutar skapula bila lengan diangkat ke atas.
12)SARAF HIPOGLOSUS (N. XII) Nukleus saraf hipoglosus terletak pada medula oblongata pada setiap sisi garis tengah dan depan ventrikel ke empat dimana semua menghasilkan trigonum hipoglosus. Saraf hipoglosus merupakan saraf motorik untuk lidah dan mempersarafi otot lidah yaitu otot stiloglosus, hipoglosus dan genioglosus.
II. PEMERIKSAAN SARAF KRANIALIS.
a.Saraf Olfaktorius (N. I) Saraf ini tidak diperiksa secara rutin, tetapi harus dikerjakan jika terdapat riwayat tentang hilangnya rasa pengecapan dan penciuman, kalau penderita mengalami cedera kepala sedang atau berat, dan atau dicurigai adanya penyakit-penyakit yang mengenai bagian basal lobus frontalis. Untuk menguji saraf olfaktorius digunakan bahan yang tidak merangsang seperti kopi, tembakau, parfum atau rempah-rempah. Letakkan salah satu bahan-bahan tersebut di depan salah satu lubang hidung orang tersebut sementara lubang hidung yang lain kita tutup dan pasien menutup matanya. Kemudian pasien diminta untuk memberitahu saat mulai terhidunya bahan tersebut dan kalau mungkin mengidentifikasikan bahan yang di hidu.
b.Saraf Optikus (N. II) Pemeriksaan meliputi penglihatan sentral (Visual acuity), penglihatan perifer (visual field), refleks pupil, pemeriksaan fundus okuli serta tes warna.
i. Pemeriksaan penglihatan sentral (visual acuity) Penglihatan sentral diperiksa dengan kartu snellen, jari tangan, dan gerakan tangan. Kartu snellen Pada pemeriksaan kartu memerlukan jarak enam meter antara pasien dengan tabel, jika tidak terdapat ruangan yang cukup luas, pemeriksaan ini bisa dilakukan dengan cermin. Ketajaman penglihatan normal bila baris yang bertanda 6 dapat dibaca dengan tepat oleh setiap mata (visus 6/6) Jari tangan Normal jari tangan bisa dilihat pada jarak 3 meter tetapi bisa melihat pada jarak 2 meter, maka perkiraan visusnya adalah kurang lebih 2/60.
Gerakan tangan
Normal gerakan tangan bisa dilihat pada jarak 2 meter tetapi bisa melihat pada jarak 1 meter berarti visusnya kurang lebih 1/310.
ii. Pemeriksaan Penglihatan Perifer Pemeriksaan penglihatan perifer dapat menghasilkan informasi tentang saraf optikus dan lintasan penglihatan mulai dair mata hingga korteks oksipitalis. Penglihatan perifer diperiksa dengan tes konfrontasi atau dengan perimetri / kompimetri. Tes Konfrontasi Jarak antara pemeriksa – pasien : 60 – 100 cm Objek yang digerakkan harus berada tepat di tengah-tengah jarak tersebut. Objek yang digunakan (2 jari pemeriksa / ballpoint) di gerakan mulai dari lapang pandang kahardan kiri (lateral dan medial), atas dan bawah dimana mata lain dalam keadaan tertutup dan mata yang diperiksa harus menatap lururs kedepan dan tidak boleh melirik kearah objek tersebut.
Syarat pemeriksaan lapang pandang pemeriksa harus normal. Perimetri / kompimetri
Lebih teliti dari tes konfrontasi Hasil pemeriksaan di proyeksikan dalam bentuk gambar di sebuah kartu.
iii. Refleks Pupil
Saraf aferen berasal dari saraf optikal sedangkan saraf aferennya dari saraf occulomotorius. Ada dua macam refleks pupil. Respon cahaya langsung Pakailah senter kecil, arahkan sinar dari samping (sehingga pasien tidak memfokus pada cahaya dan tidak berakomodasi) ke arah salah satu pupil untuk melihat reaksinya terhadap cahaya. Inspeksi kedua pupil dan ulangi prosedur ini pada sisi lainnya. Pada keadaan normal pupil yang disinari akan mengecil.
Respon cahaya konsensual Jika pada pupil yang satu disinari maka secara serentak pupil lainnya mengecil dengan ukuran yang sama.
iv. Pemeriksaan fundus occuli (fundus kopi)
Digunakan alat oftalmoskop. Putar lensa ke arah O dioptri maka fokus dapat diarahkan kepada fundus, kekeruhan lensa (katarak) dapat mengganggu pemeriksaan fundus. Bila retina sudah terfokus carilah terlebih dahulu diskus optikus. Caranya adalah dengan mengikuti perjalanan vena retinalis yang besar ke arah diskus. Semua vena-vena ini keluar dari diskus optikus.
v. Tes warna Untuk mengetahui adanya polineuropati pada n. optikus.
c.Saraf okulomotoris (N. III) Pemeriksaan meliputi ; Ptosis, Gerakan bola mata dan Pupil
1. Ptosis Pada keadaan normal bila seseorang melihat ke depan maka batas kelopak mata atas akan memotong iris pada titik yang sama secara bilateral. Ptosis dicurigai bila salah satu kelopak mata memotong iris lebih rendah dari pada mata yang lain, atau bila pasien mendongakkan kepal ke belakang / ke atas (untuk kompensasi) secara kronik atau mengangkat alis mata secara kronik pula.
2.Gerakan bola mata. Pasien diminta untuk melihat dan mengikuti gerakan jari atau ballpoint ke arah medial, atas, dan bawah, sekligus ditanyakan adanya penglihatan ganda (diplopia) dan dilihat ada tidaknya nistagmus. Sebelum pemeriksaan gerakan bola mata (pada keadaan diam) sudah dilihat adanya strabismus (juling) dan deviasi conjugate ke satu sisi.
3.Pupil
Pemeriksaan pupil meliputi :
i.Bentuk dan ukuran pupil
ii.Perbandingan pupil kanan dan kiri pupil sebesar 1mm masih dianggap normalPerbedaan
iii. Refleks pupil Meliputi pemeriksaan :
1.Refleks cahaya langsung (bersama N. II)
2.Refleks cahaya tidak alngsung (bersama N. II)
3.Refleks pupil akomodatif atau konvergensi
Bila seseorang melihat benda didekat mata (melihat hidungnya sendiri) kedua otot rektus medialis akan berkontraksi. Gerakan kedua bola mata ini disebut konvergensi. Bersamaan dengan gerakan bola mata tersebut maka kedua pupil akan mengecil (otot siliaris berkontraksi) (Tejuwono) atau pasien disuruh memandang jauh dan disuruh memfokuskan 15 cm didepan matamatanya pada suatu objek diletakkan pada jarak pasien dalam keadaan normal terdapat konstriksi pada kedua pupil yang disebut reflek akomodasi.
d.Saraf Troklearis (N. IV)
Pemeriksaan meliputi
1.gerak mata ke lateral bawah
2.strabismus konvergen
3.diplopia
e.Saraf Trigeminus (N. V)
Pemeriksaan meliputi; sensibilitas, motorik dan reflex
1. Sensibilitas Ada tiga cabang sensorik, yaitu oftalmik, maksila, mandibula. Pemeriksaan dilakukan pada ketiga cabang saraf tersebut dengan membandingkan sisi yang satu dengan sisi yang lain. Mula-mula tes dengan ujung yang tajam dari sebuah jarum yang baru. Pasien menutup kedua matanya dan jarum ditusukkan dengan lembut pada kulit, pasien ditanya apakah terasa tajam atau tumpul. Hilangnya sensasi nyeri akan menyebabkan tusukan terasa tumpul. Daerah yang menunjukkan sensasi yang tumpul harus digambar dan pemeriksaan harus di lakukan dari daerah yang terasa tumpul menuju daerah yang terasa tajam. Juga dilakukan dari daerah yang terasa tumpul menuju daerah yang terasa tajam. Juga lakukan tes pada daerah di atas dahi menuju belakang melewati puncak kepala. Jika cabang oftalmikus terkena sensasi akan timbul kembali bila mencapai dermatom C2. Temperatur tidak diperiksa secara rutin kecuali mencurigai siringobulbia, karena hilangnya sensasi temperatur terjadi pada keadaan hilangnya sensasi nyeri, pasien tetap menutup kedua matanya dan lakukan tes untuk raba halus dengan kapas yang baru dengan cara yang sama. Pasien disuruh mengatakan “ya” setiap kali dia merasakan sentuhan kapas pada kulitnya.
2.Motorik
Pemeriksaan dimulai dengan menginspeksi adanya atrofi otot-otot temporalis dan masseter. Kemudian pasien disuruh mengatupkan giginya dan lakukan palpasi adanya kontraksi masseter diatas mandibula. Kemudian pasien disuruh membuka mulutnya (otot-otot pterigoideus) dan pertahankan tetap terbuka sedangkan pemeriksa berusaha menutupnya. Lesi unilateral dari cabang motorik menyebabkan rahang berdeviasi kearah sisi yang lemah (yang terkena)..
3. Refleks
Pemeriksaan refleks meliputi Refleks kornea
a.Langsung
Pasien diminta melirik ke arah laterosuperior, kemudian dari arah lain kapas disentuhkan pada kornea mata, misal pasien diminta melirik kearah kanan atas maka kapas disentuhkan pada kornea mata kiri dan lakukan sebaliknya pada mata yang lain. Kemudian bandingkan kekuatan dan kecepatan refleks tersebut kanan dan kiri saraf aferen berasal dari N. V tetapi eferannya (berkedip) berasal dari N.VII.
b.Tak langsung (konsensual) Sentuhan kapas pada kornea atas akan menimbulkan refleks menutup mata pada mata kiri dan sebaliknya kegunaan pemeriksaan refleks kornea konsensual ini sama dengan refleks cahaya konsensual, yaitu untuk melihat lintasan mana yang rusak (aferen atau eferen). Refleks bersin (nasal refleks) Refleks masseter
Untuk melihat adanya lesi UMN (certico bultar) penderita membuka mulut secukupnya (jangan terlalu lebar) kemudian dagu diberi alas jari tangan pemeriksa diketuk mendadak dengan palu refleks. Respon normal akan negatif yaitu tidak ada penutupan mulut atau positif lemah yaitu penutupan mulut ringan. Sebaliknya pada lesi UMN akan terlihat penutupan mulut yang kuat dan cepat. f.Saraf abdusens (N. VI)
Pemeriksaan meliputi gerakan mata ke lateral, strabismus konvergen dan diplopia tanda-tanda tersebut maksimal bila memandang ke sisi yang terkena dan bayangan yang timbul letaknya horizonatal dan sejajar satu sama lain.
g.Saraf fasialis (N. VII) Pemeriksaan saraf fasialis dilakukan saat pasien diam dan atas perintah (tes kekuatan otot) saat pasien diam diperhatikan : Asimetri wajah
Kelumpuhan nervus VIII dapat menyebabkan penurunan sudut mulut unilateral dan kerutan dahi menghilang serta lipatan nasolabial, tetapi pada kelumpuhan nervus fasialis bilateral wajah masih tampak simetrik Gerakan-gerakan abnormal (tic facialis, grimacing, kejang tetanus/rhisus sardonicus tremor dan seterusnya ). Ekspresi muka (sedih, gembira, takut, seperti topeng)
-Tes kekuatan otot
1.Mengangkat alis, bandingkan kanan dan kiri.
2.Menutup mata sekuatnya (perhatikan asimetri) kemudioan pemeriksa mencoba membuka kedua mata tersebut bandingkan kekuatan kanan dan kiri.
3.Memperlihatkan gigi (asimetri)
4.Bersiul dan menculu (asimetri / deviasi ujung bibir)
5.meniup sekuatnya, bandingkan kekuatan uadara dari pipi masing-masing.
6.Menarik sudut mulut ke bawah.
-Tes sensorik khusus (pengecapan) 2/3 depan lidah) Pemeriksaan dengan rasa manis, pahit, asam, asin yang disentuhkan pada salah satu sisi lidah.
- Hiperakusis Jika ada kelumpuhan N. Stapedius yang melayani otot stapedius maka suara-suara yang diterima oleh telinga pasien menjadi lebih keras intensitasnya.
h.Saraf Vestibulokokhlearis (N. VIII)
Ada dua macam pemeriksaan yaitu pemeriksaan pendengaran dan pemeriksaan fungsi vestibuler
1)Pemeriksaan pendengaran Inspeksi meatus akustikus akternus dari pasien untuk mencari adanya serumen atau obstruksi lainnya dan membrana timpani untuk menentukan adanya inflamasi atau perforasi kemudian lakukan tes pendengaran dengan menggunakan gesekan jari, detik arloji, dan audiogram. Audiogram digunakan untuk membedakan tuli saraf dengan tuli konduksi dipakai tes Rinne dan tes Weber.
Tes Rinne Garpu tala dengan frekuensi 256 Hz mula-mula dilakukan pada prosesus mastoideus, dibelakang telinga, dan bila bunyi tidak lagi terdengar letakkan garpu tala tersebut sejajar dengan meatus akustikus oksterna. Dalam keadaan norma anda masih terdengar pada meatus akustikus eksternus. Pada tuli saraf anda masih terdengar pada meatus akustikus eksternus. Keadaan ini disebut Rinne negatif.
Tes Weber Garpu tala 256 Hz diletakkan pada bagian tengah dahi dalam keadaan normal bunyi akan terdengar pada bagian tengah dahi pada tuli saraf bunyi dihantarkan ke telinga yang normal pada tuli konduktif bunyi tedengar lebih keras pada telinga yang abnormal.
2)Pemeriksaan Fungsi Vestibuler Pemeriksaan fungsi vestibuler meliputi : nistagmus, tes romberg dan berjalan lurus dengan mata tertutup, head tilt test (Nylen – Baranny, dixxon – Hallpike) yaitu tes untuk postural nistagmus.
i.Saraf glosofaringeus (N. IX) dan saraf vagus (N. X) Pemeriksaan N. IX dan N X. karena secara klinis sulit dipisahkan maka biasanya dibicarakan bersama-sama, anamnesis meliputi kesedak / keselek (kelumpuhan palatom), kesulitan menelan dan disartria(khas bernoda hidung / bindeng). Pasien disuruh membuka mulut dan inspeksi palatum dengan senter perhatikan apakah terdapat pergeseran uvula, kemudian pasien disuruh menyebut “ah” jika uvula terletak ke satu sisi maka ini menunjukkan adanya kelumpuhan nervus X unilateral perhatikan bahwa uvula tertarik kearah sisi yang sehat.
Sekarang lakukan tes refleks muntah dengan lembut (nervus IX adalah komponen sensorik dan nervus X adalah komponen motorik). Sentuh bagian belakang faring pada setiap sisi dengan spacula, jangan lupa menanyakan kepada pasien apakah ia merasakan sentuhan spatula tersebut (N. IX) setiap kali dilakukan. Dalam keadaaan normal, terjadi kontraksi palatum molle secara refleks. Jika konraksinya tidak ada dan sensasinya utuh maka ini menunjukkan kelumpuhan nervus X, kemudian pasien disuruh berbicara agar dapat menilai adanya suara serak (lesi nervus laringeus rekuren unilateral), kemudian disuruh batuk , tes juga rasa kecap secara rutin pada sepertinya posterior lidah (N. IX).
j.Saraf Asesorius (N. XI) Pemeriksaan saraf asesorius dengan cara meminta pasien mengangkat bahunya dan kemudian rabalah massa otot trapezius dan usahakan untuk menekan bahunya ke bawah, kemudian pasien disuruh memutar kepalanya dengan melawan tahanan (tangan pemeriksa) dan juga raba massa otot sternokleido mastoideus.
k.Saraf Hipoglosus (N. XII)\ Pemeriksaan saraf Hipoglosus dengan cara; Inspeksi lidah dalam keadaan diam didasar mulut, tentukan adanya atrofi dan fasikulasi (kontraksi otot yang halus iregular dan tidak ritmik). Fasikulasi dapat unilateral atau bilateral.
Pasien diminta menjulurkan lidahnya yang berdeviasi ke arah sisi yang lemah (terkena) jika terdapat lesi upper atau lower motorneuron unilateral. Lesi UMN dari N XII biasanya bilateral dan menyebabkan lidah imobil dan kecil. Kombinasi lesi UMN bilateral dari N. IX. X, XII disebut kelumpuhan pseudobulbar.














BAB II KESIMPULAN
Sistem Saraf
Setiap impuls saraf akan berhubungan dengan sistem saraf, yang terdiri dari sistem saraf sadar dan sistem saraf tak sadar atau sistem saraf otonom, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada skema berikut:












DAFTAR PUSTAKA
www.pemeriksaan kranial.com
1. Wei, IG Sham Js, Cancer of The Nasofharynx. In: Meyers EN, Suen JY, Editor. Cancer of The Head and Nech, 3 rd Ed, New York : Churchill Livingstone; 2000 p. 277- 39.

Laporan pendahuluan: askep halusinasi


LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN HALUSINASI

A.        Masalah Utama Klien
Klien mengalami “halusinasi”

B.        Proses Terjadinya Masalah
-       Pengertian
Halusinasi dapat didefinisikan sebagai terganggunya persepsi sensori seseorang, dimana tidak terdapat stimulus (Varcarolis)
Tipe halusinasi yang paling sering adalah halusinasi pendengaran (Auditoring-Hearing, Voices or Sound), Penglihatan (Visual-Seeing, persons or things), Penciuman (Olfactory-Smelling Odors), Pengecapan (Gustatory-experience taste)

-       Factor Predisposisi
a.   Faktor Perkembangan
Tugas perkembangan klien yang tergangggu misalnya rendahnya control dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih rentan terhadap stress.
b.   Faktor Sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi (Unwanted Child) akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya kepada lingkungannya.
c.   Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress yang berlebihan dialami seseorang maka didalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang bersifat halusinogenik neurokimia seperti Buffofenon dan Dimetytranferase (DMP). Akibat stress berkepanjangan menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter ota. Misalnya terjadi ketidakseimbangan asetilkolin dan dopamine.


d.   FaktorPsikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertangguangjawab mudah terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif.Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya.Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam hayal.
e.   FaktorGenetikdan Pola Asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orangtua skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil stuck menunjukkan bahwa factor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh terhadap penyakit ini.

-       Faktor Presipitasi
a.   Perilaku
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak aman, gelisah dan bingung, perilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Menurut Rawlins dan Heacock, 1993 mencoba memecahkan masalah halusinasi berdasarkan atas hakekat keberadaan seorang individu sebagai makhluk yang dibangun atas dasar unsure-unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari lima dimensi, yaitu:
1.   Dimensi Fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik, seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan tidur untuk waktu yang lama.
2.   Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi.Isi dari halusinasi dapat beruap perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut., hingga kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
3.   Dimensi Intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls-impuls yang menekan, namun meruapakan suatu hal yang menimbulkan  kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol semua perilaku klien.
4.   DimensiSosial
Klien mengalami gangguan interaksi social dalam fase awal dan comforting, klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata sangat membahayakan. Klien asyik dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memnuhi kebutuhan akan interaksi social. Control diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi system control oleh individu tersebut, sehingga jika perintah halusinasi berupa ancaman, dirinya atau orang lain individu cenderung untuk itu. Oleh karena itu, aspek penting dalam melaksanakan intervensi keperawatan klien dengan mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta mengusahakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi dengan lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung.
5.   DimensiSpiritual
Secara spiritual klien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas tidak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri. Irama sirkadiannya terganggu, karena ia sering tidur larut malam dan bangun sangat siang. Saat terbangun terasa hampa dan tidak jelas tujuan hidupnya.Ia sering memakai takdir tetapi lemah dalam upaya menjemput rezeki, menyalahkan lingkungan dan orang lain yang menyebabkan takdirnya terbunuh.

-       Psikopatologi
Halusinasi merupakan bentuk yang paling sering dari gangguan persepsi.Bentuk halusinasi ini bisa berupa suara-suara bising atau mendengung, tapi yang paling penting berupa kata-kata yang tersusun dalam bentuk kalimat yang agak sempurna.Biasanya kalimat tadi membicarakan mengenai keadaan pasien sendiri atau yang dialamatkan pada pasien itu, akibatnya pasien bisa bertengkar atau bicara dengan suara halusinasi itu.Bisa pula pasien terlihat seperti bersikap mendengar atau bicara-bicara sendiri atau bibirnya bergerak-gerak.Psikopatologi dari halusinasi yang pasti belum diketahui. Banyak teori  yang diajukan yang menekankan pentingnya factor-faktor psikologik, fisiologik dll. Ada yang mengatakan bahwa dalam keadaan terjaga yang normal otak dibombardir oleh aliran stimulus yang dating dari dalam tubuh ataupun luar tubuh. Input ini akan menginhibisi persepsi yang lebih dari munculnya ke alam sadar. Bila input ini dilemahkan atau tidak ada sama sekali seperti kita jumpai dalam keadaan normal atau psatologis maka materi-materi yang ada dalam unconscious atau preconscious bisa dilepaskan dalam bentuk halusinasi. Pendapat lain mengatakan bahwa halusinasi dimulai dengan adanya keinginan yang direpresi ke unconscious dan kemudian karena sudah retaknya kepribadian dan rusaknya daya menilai realitas maka keinginan tadi diproyeksikan keluar dalam bentuk stimulus externa.

C.       
Defisit Perawatan Diri: mandi/ Kebersihan, berpakaian
Resiko tinggi perilaku kekerasan
Resiko gangguan persepsi sensory: Halusinasi
Gangguan interaksi social: Menarik diri
Gangguan konsep diri: Harga diri rendah
Intoleransi aktifitas
Pohon Masalah

Efek

Core Problem        

Etiologi                  

                               Menarik Diri





D.        Masalah keperawatan dan Data Yang Perlu Dikaji
1.   Masalah Keperawatan
a.   Resiko tinggi perilaku kekerasan
b.   Resiko persepsi sensori: halusinasi
c.   Gangguan interaksi social: menarik diri
d.   Gangguan konsep diri: harga diri rendah

2.   Data Yang Perlu Dikaji
a.   Perubahan sensori persepsi: halusinasi
1.   Data Subjektif
a)  Klien mengatakan mendengar bunyi yang tidak berhubungan dengan stimulus nyata
b)  Klien melihat gambaran tanpa ada stimulus yang nyata
c)  Klien mengatakan mencium bau tanpa ada stimulus
d)  Klien merasa ada sesuatu pada kulitnya
e)  Klien takut pada suara/bunyi/gambar yang dilihat dan didengar
f)   Klien ingin memukul/melempar barang-barang

2.   Data Objektif
a)  Klien berbicara dan tertawa sendiri
b)  Klien bersikap seperti mendengar/melihat sesuatu
c)  Klien berhenti bicara di tengah kalimat untuk  mendengarkan sesuatu
d)  Disorientasi

E.        Diagnosa Keperawatan
§  Perubahan persepsi sensori: halusinasi

F.         Rencana Tindakan Keperawatan
TUM      : Klien dapat mengendalikan halusinasinya.
TUK 1    : klien dapat membina hubungan saling percaya
Intervensi :
a.  Salam teraupetik, perkenalan, jelaskan tujuan, ciptakan lingkungan yang tenang, buat kontrak yang jelas (waktu, tempat, topik)
b.  Beri kesempatan mengungkapkan perasaan
c.  Empati
d.  Ajak membicarakan hal – hal yang ada di lingkungan


TUK 2    : Klien dapat mengenal halusinasinya
Intervensi :
a.  Kontak sering dan singkat
b.  Observasi tingkah laku yang terkait dengan halusinasi (verbal dan non verbal)
c.  Bantu mengenal halusinasinya    dengan menggunakan apakah ada suara yang didengar, dan apa yang dikatakan oleh suara itu. Katakana bahwa perawat percaya klien mendengar suara itu, tetapi perawat tidak mendengarnya  .katakana bahwa perawat akan membantu.
d.  Diskusi tentang situasi yang menimbulkan halusinasi, waktu, frekuensi terjadinya halusinasi serta apa yang dirasakan saat terjadi halusinasi.
e.  Dorong untuk mengungkapkan perasaan saat terjadi halusinasi

TUK 3    : Klien dapat mengontrol halusinasinya
Intervensi :
a.  Identifikasi bersama tentang cara tindakan jika terjadi halusinasi
b.  Diskusikan manfaat cara yang digunakan klien atau cara baru untuk mengontrol halusinasinya.
c.  Bantu memilih dan melatih cara memutus halusinasi, bicara dengan orang lain bila muncul halusinasi, melakukan kegiatan, mengatakan pada suara tersebut “ Saya tidak mau dengar “.
d.  Tanyakan hasil upaya yang telah dipilih / dilakukan .
e.  Beri kesempatan melakukan cara yang telah dipilih dan diberi  pujian jika berhasil.
f.   Libatkan klien TAK : stimulasi persepsi

TUK 4    : Klien dapat dukungan dari keluarga
Intervensi :
a.  Beri pendidikan  kesehatan pada pertemuan keluarga tentang gejala cara, memutus halusinasi, cara merawat, informasi waktu flow up atau kapan perlu mendapat bantuan.
b.  Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga
              
TUK 5    : Klien dapat menggunakan obat dengan benar  
Intervensi :
a.  Diskusikan tentang dosis, nama, frekuensi, dan efek samping minum obat.
b.  Bantu menggunakan obat dengan prinsip 5 benar (nama pasien, obat, dosis, cara, waktu)
c.  Anjurkan membicarakan efek dan efek samping obat yang dirasakan .
d.  Beri reinforcement positif minum obat dengan benar.























SP1 pasien  : Membantu pasien mengenal halusinasi, menjelaskan cara mengontrol halusinasi, mengajarkan pasien mengontrol halusinasi dengan menghardik halusinasi.

v  Orientasi
“Selamat pagi! Saya perawat yang akan merawat anda. Saya suster SS, senang dipanggil suster S. Nama anda siapa? Senang di panggil apa?”
“ Bagaimana perasaan D hari ini? Apa keluhan D saat ini?”
“Baiklah, bagaimana kalau kita bercakap-cakap tentang suara yang selama ini D dengar, tetapi tidak tampak wujudnya? Dimana kita duduk? Diruang tamu? Berapa lama? Bagaimana kalau 30 menit?”

v  Kerja
“Apakah D mendengar suara tanpa ada wujudnya? Apa yang dikatakan suara itu?”
“Apakah terus menerus terdengar atau sewaktu-waktu? Kapan D paling sering mendengar suara itu? Berapa kali sehari D alami? Pada keadaan apa suara itu terdengar? Apakah pada waktu sendiri?”
“Apa yang D rasakan pada saat mendengar suara itu? Apa yang D lakukan saat mendengar suara itu? Apakah dengan cara itu suara-suara itu hilang? Bagaimana kalau kita belajar cara-cara untuk mencegah suara-suara itu muncul?”
“D, ada empat cara untuk mencegah suara-suara itu muncul. Pertama, dengan menghardik suara tersebut. Kedua, dengan cara bercakap-cakap dengan orang lain. Ketiga, melakukan kegiatan yang sudah terjadwal, dan yang keempat minum obat dengan teratur.”
“Bagaimana kalau kita belajar satu cara dulu, yaitu dengan menghardik. Caranya adalah saat suara-suara itu muncul, langsung D bilang, pergi saya tidak mau dengar. Saya tidak mau dengar, kamu suara palsu” begitu diulang-ulang sampai suara itu tidak terdengar lagi. Coca D peragakan! Nah begitu… bagus! Coba lagi! Ya bagus D sudah bisa.”

v  Terminasi
“Bagaimana perasaan D setelah memeragakan latihan tadi? Kalu suara-suara itu muncul lagi, silahkan coba cara tersebut! Bagaimana kalu kita buat jadwal latihannya. Mau jam berapa saja latihannya? (Anda masukkan kegiatan latihan menghardik halusinasi dalam jadwal kegiatan harian pasien). Bagaimana kalau kita bertemu lagi untuk belajar dan latihan mengendalikan suara-suara dengan cara yang ke dua? Pukul berapa D? Bagaimana kalau dua jam lagi? Dimana tempatnya.”
“Baiklah, sampai jumpa”.

SP 2 Pasien : Melatih pasien mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap bersama orang lain.

v  Orientasi
“Selama pagi, D! Bagaimana perasaan D  hari ini?  Apakah suara-suaranya masih muncul? Apakah sudah dipakai cara yang telah kita latih? Berkurangkah suara-suaranya? Bagus! Sesuai janji kita tadi, saya akan latih cara kedua untuk mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap dengan orang lain. Kita akan latihan selama 20 menit. Mau dimana? Disini saja?”

v  Kerja
“Cara kedua untuk mencegah/mengontrol halusinasi adalah dengan bercakap-cakap dengan orang lain. Jadi kalu D mulai mendengar suara-suara, langsunga saja cari teman untuk diajak ngobrol. Minta teman untuk ngobrol dengan D. Contohnya begini, “Tolong, saya mulai dengar suara-suara. Ayo ngobrol dengan saya!” Atau kalau ada orang dirumah, misalnya kakak D, katakan,”Kak, ayo ngobrol dengan D. D sedang dengar suara-suara.” Begitu D. Coba D lakukan seperti saya tadi lakukan. Iya, begitu. Bagus! Coba sekali lagi! Bagus! Nah, latih terus ya D!” Disini,  D dapat mengajak perawat atau pasien lain untuk bercakap-cakap.

v  Terminasi
“Bagaimana perasaan D setelah latihan ini? Jadi, sudah ada berapa cara yang D pelajari untuk mencegah suara-suara itu? Bagus, coblah kedua cara ini kalau D mengalami halusinasi lagi. Bagaiman kalau kita masukkan dalam jadwal kegiaan harian D. mau jam berapa latihan bercakap-cakap? Nah, nanti kalau secara teratur sewaktu-waktu suara itu muncul! Besol pagi saya akan kesini lagi. Bagimana kalau kita latih cara yang ketiga, yaitu melakukan aktifitas terjadwal? Mau jam berapa? Bagaimana kalau jam 10 pagi? Mau dimana? Disini lagi? Sampai besok ya. Selamat pagi!”

SP 3 Pasien : Melatih pasien mengontrol halusinasi dengan melaksanakan  aktifitas terjadwal.

v  Orientasi
“Slamat pagi D! bagaimana perasaan D hari ini?”
“Apakah suara-suaranya masih muncul? Apakah sudah dipakai dua cara yang telah kita latih? Bagaimana hasilnya? Barus !”
“Sesuai janji kita, hari ini kita akan belajar cara yang ketiaga untuk mencegah halusinasi yaitu melakukan kegiatan terjadwal.”
“Mau dimana kita bicara? Baik, kita duduk diruang tamu. Berapa lama kita bicara? Bagaimana kalau 30 menit? Baiklah.!

v  Kerja
“Apa saja yang biasa D lakukan? Pagi-pagi apa kegiatannya? Terus jam berikutnya apa?” (terus dikaji hingga didapatkan kegiatannya sampai malam)”
“ Wah banyak sekali kegiatannya! Mari kita latih dua kegiatan hari ini (latihn kegiatan tersebut). Bagus sekali jika D bisa lakukan.”
“Kegiatan ini dapat D lakukan untuk mencegah suara tersebut muncul. Kegiatan yang lain akan kita latih lagi agar dari pagi sampai malam ada kegiatan.”

v  Terminasi
“Bagaimana perasaan D setelah kita bercakap-cakap cara yang ketiga untuk mencegah suara-suara? Bagus sekali! Mari kita masukkan dalam jadwal kegiatan D. coba lakukan sesuai jadwal ya!”(perawat dapat melatih aktifitas yang lain pada pertemuan berikut sampai terpenuhi seluruh aktifitas dari pagi sampai malam).
“Bagaimana kalau menjelang malan siang nanti, kita membahas cara minum obat yang baik serta guna obat. Mau jam berapa? Bagaimana kalau jam 12? Diruang makan ya! Sapai jumpa!”


SP 4 Pasien : Melatih pasien minum obat secara teratur.

v  Orientasi
“Selamat siang D! Bagaimana perasaan D siang ini? Apakah suara-suaranya masih muncul? Apakah sudah digunakan tiga cara yang sudah kita latih? Apakan jadwal kegiatannya sudah dilaksanakan? Apakah pagi tadi sudah minum obat? Baik. Hari ini kita akan mendiskusikan tentang obat-obatan yang D minum. Kita akan diskusi selama 20 menit sambil menunggu makan siang. Disini saja ya D.”

v  Kerja
“D, adakah bedanya setelah minum obat secara teratur? Apakah suara-suara berkurang atau menghilang? Minum obat sangat penting agar suara-suara yang D dengar dan mengganggu selama ini tidak muncul lagi. Berapa macam obat yang D minum?. (perawat menyiapkan obat pasien) ini yang warna orange (chlorpromazine, CPZ) gunanya untuk menghilangkan suara-suara. Obat yang warna putih (tpyhexilpendil,THP) gunanya agar D merasa rilex dan tidak kaku, sedangkan yang merah jambu (haloperidol,HIP) berfungsi untuk menenangkan pikiran dan menghilangkan suara-suara. Semua obat ini diminum 3 kali sehari, tiap pukul 7 pagi, 1 siang, dan 7 malam. Kalau suara-suara sudah hilang obatnya tidak boleh dihentikan. Nanti konsultasikan dengan dokter, sebab kalau putus obat, D akan kambuh dan sulit sembuh seperti keadaan semula. Kalau obat habis, D bisa minta ke dokter untuk mendapatkan obat lagi. D juga harus teliti saat minum obat-obatan ini. Pastikan obatnya benar, artinya D harus memastikan bahwa itu benar-benar obat punya D. jangan keliru dengan obat milik orang lain. Baca nama kenasannya. Pastikan obat diminum pada waktunya, dengan cara yang benar, yaitu diminum sesudah makan da tepat jamnya. D juga harus memperhatikan berapa jumlah obat sekali minum, dan D juga harus cukup minum 10 gelas per hari.”