Rabu, 31 Agustus 2011

hemostasis

BAB I 

PENDAHULUAN
  1. LATAR BELAKANG
Hemostasis merupakan pristiwa penghentian perdarahan akibat putusnya atau robeknya pembuluh darah, sedangkan thrombosis terjadi ketika endothelium yang melapisi pembuluh darah rusak atau hilang. Proses ini mencakup pembekuan darah (koagulasi ) dan melibatkan pembuluh darah, agregasi trombosit serta protein plasma baik yang menyebabkan pembekuan maupun yang melarutkan bekuan.
Setiap orang mengetahui bahwa pendarahan pada akhirnya akan berhenti ketika terjadi luka atau terdapat luka lama yang mengeluarkan darah kembali. Saat pendarahan berlangsung, gumpalan darah beku akan segera terbentuk dan mengeras, dan luka pun pulih seketika. Sebuah kejadian yang mungkin tampak sederhana dan biasa saja di mata Anda, tapi tidak bagi para ahli biokimia. Penelitian mereka menunjukkan, peristiwa ini terjadi akibat bekerjanya sebuah sistem yang sangat rumit. Hilangnya satu bagian saja yang membentuk sistem ini, atau kerusakan sekecil apa pun padanya, akan menjadikan keseluruhan proses tidak berfungsi.
Darah harus membeku pada waktu dan tempat yang tepat, dan ketika keadaannya telah pulih seperti sediakala, darah beku tersebut harus lenyap. Sistem ini bekerja tanpa kesalahan sedikit pun hingga bagian-bagiannya yang terkecil.
Jika terjadi pendarahan, pembekuan darah harus segera terjadi demi mencegah kematian. Di samping itu, darah beku tersebut harus menutupi keseluruhan luka, dan yang lebih penting lagi, harus terbentuk tepat hanya pada lapisan paling atas yang menutupi luka. Jika pembekuan darah tidak terjadi pada saat dan tempat yang tepat, maka keseluruhan darah pada makhluk tersebut akan membeku dan berakibat pada kematian.

  1. Tujuan
Tujuan umum
Adapun tujuan umum penulis menyusun makalah ini adalah untuk mendukung kegiatan belajar mengajar jurusan keperawatan khususnya di kuliah “keperawatan system imun dan hematologi II” dengan materi pembahasan “hemostasis dan pembekuan darah”.
Tujuan khusus
Adapun tujuan khusus penulis menyusun makalah ini yaitu supaya mahasiswa mampu memahami pengetahuan tentang imun dan hematologi II, perubahan-perubahan hemostasis dan pembekuan darah, dsb.
  1. Rumusan masalah
Keperawatan system Imun Dan Hematologi II merupakan suatu pembelajaran yang kompleks, namun pada kesempatan kali ini penulis membatasi bahan pembahasan yaitu akan membahas tentang hemostasis dan pembekuan darah yang dijabarkan mulai dari: peristiwa-peristiwa hemostasis, mekanisme pembekuan darah, keadaan yang menyebabkan perdarahan hebat pada manusia, keadaan tromboemboli pada manusia, pencegahan pembekuan darah diluar tubuh, dan tes-tes pembekuan darah.







BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian
Hemostasis dan pembekuan adalah serangkaian kompleks reaksi yang mengakibatkan pengendalian perdarahan melalui pembentukan bekuan trombosit dan fibrin pada tempat cedera. Pembekuan disusul oleh resolusi atau lisis bekuan dan regenerasi endotel. Pada keadaan homeostasis, hemostasis dan pembekuan melindungi individu dari perdarahan masif sekunder akibat trauma. Dalam keaadaan abnormal, dapat terjadi perdarahan atau trombosis dan penyumbatan cabang-cabang vaskular, yanag dapat mengganggu sistem tubuh lainnya.
Hemostasis merupakan peristiwa penghentian perdarahan akibat putusnya atau robeknya pembuluh darah, sedangkan thrombosis terjadi ketika endothelium yang melapisi pembuluh darah rusak atau hilang. Proses ini mencakup pembekuan darah (koagulasi ) dan melibatkan pembuluh darah, agregasi trombosit serta protein plasma baik yang menyebabkan pembekuan maupun yang melarutkan bekuan.
Mekanisme yang menghentikan perdarahan (hemostasis) terdiri atas tiga fase :
1.    Fase vaskuler
Pembuluh yang cedera segera berkontriksi. Spasme pembuluh darah ini sudah mencukupi pada perdarahan kapiler.
2.    Fase trombosit
Trombosit akan teragregasi di sekitar tempat perdarahan. Sel kecil ini dengan cepat tertarik ke endotelium yang cedera dan membentuk sumbatan longgar. Sumbatan trombosit efektif menghentikan perdarahan dari pembuluh darah kecil seperti venula yang merupakan perlindungan sementara pada cedera yang lebih besar. Penghentian perdarahan luka vaskuler yang lebih sempurna dan permanen dihasilkan melalui pembekuan darah, dengan mase seperti gel, lengket, dan efektif mengontrol perdarahan pada umumnya.
3.    Fase koagulasi
Dimulai dari jaras instrinsik meupun ekstrinsik. Reaksi berantai dan berurutan teraktifasi mendorong terjadinya agregasi trombosit lebih lanjut. Fungsi lainnya adalah mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Benang-benang fibrin kemudian terbentuk di sela-sela sumbatan trombosit, memperkuat sumbatan tersebut, dan membentuk bekuan yang lebih besar. Hasilnya pembuluh yang rusak akan tertambal dan aliran darah di daerah itu akan melambat.
Pembekuan darah adalah proses dimana komponen cairan darah ditransformasi menjadi material semisolid yang dinamakan bekuan darah.
Pada pembekuan darah yang terjadi adapun factor-faktor pembekuan darah antara lain
  • F.I = FIBRINOGEN, merupakan prekursor fibrin (protein terpolimerasi)
  • F.II = PROTROMBIN, merupakan prekursor enzim proteolitik trombin dan mungkin akselerator lain pada konversi protrombin.
  • F.III = TROMBOPLASTIN JARINGAN, aktifator lipoprotein jaringan pada protrombin
  • F. IV = ION CA, diperlukan untuk aktivasi protombin dan pembentukan
    fibrin
  • F.V. = PROAKSELERIN, merupakan akselerator plasma globin : suatu factor plasma yang mempercepat konversi protrombin menjadi thrombin.
  • F.VI. = BENTUK AKTIP F.V.
  • F.VII = PROKONVERTIN, akselator konversi protombin serum : suatu
    faktor serum yang mempercepat konversi protombin
  • F.VIII = ANTI HEMOFILIK FAKTOR (AHG), suatu faktor plasma yang berkaitan dengan factor III trombosit dan factor Christmas (IX), mengaktivasi protmrombin
  • F.IX = CHRISTMAS FAKTOR, faktor serum yang berkaitan dengan faktor-faktor trombosit III dan VIIIAHG, mengaktifasi protombin.
  • F.X = STUART PROWER FAKTOR, suatu faktor plasma dan serum ,
    akselerator konversi protombin
  • F.XI = PLASMA TROMBOPLASTIN ANTECEDENT, akselator pembentukan thrombin.
  • F.XII = HAGEMEN FAKTOR, suatu faktor plasma, mengaktifasi faktor XI
  • F.XIII = FIBRINASE FAKTOR, mengaktifasi bekuan fibrin yang lebih kuat.

B.    Peristiwa-pristiwa hemostasis
Sistem Hemostasis pada dasarnya terbentuk dari tiga kompartemen hemostasis yang sangat penting dan sangat berkaitan yaitu trombosit, protein darah dan jaring-jaring pembuluh darah. Agar terjadi peristiwa hemostasis yang normal, trombosit harus mempunyai fungsi dan jumlah yang normal. Sistem protein darah sangat berperan penting tidak hanya sebagai protein pembekuan akan tetapi sangat berperan dalam dalam fisiologi perdarahan dan trombosis.
Pembuluh darah sangat besar peranannya dalam sistem hemostasis. Dinding pembuluh darah terdiri dari tiga lapisan morfologis: intima, media, dan adventitia. Intima terdiri dari (1) selapis sel endotel non trombogenik yang berhubungan langsung dengan pembuluh darah dan (2) membran elastik interna. Media dibentuk oleh sel otot polos yang ketebalannya tergantung dari jenis arteri dan vena serta ukuran pembuluh darah. Adventitia terdiri dari suatu membran elastik eksterna dan jaringan penyambung yang menyokong pembuluh darah tersebut. Gangguan pembuluh darah yang terjadi seringkali berupa terkelupasnya sel endotel yang diikuti dengan pemaparan kolagen subendotel dan membran basalis. Gangguan ini terjadi akibat asidosis, endotoksin sirkulasi, dan komplek antigen/antibodi sirkulasi.
Fungsi pembuluh darah meliputi permiabilitas yang apabila meningkat akan berakibat kebocoran pembuluh darah fragilitas yang apabila meningkat menyebabkan pecahnya pembuluh darah dan vaso konstriksi yang menyebabkan sumbatan vaskuler.
Rangkaian peristiwa pada hemostasis pada lokasi jejas vaskula adalah sebagai berikut:
  • Setelah jejas awal terjadi, terdapat periode vasokonstriksi arteriol yang singkat, sebagian besar disebabkan oleh mekanisme refleks neurogenik dan diperkuat oleh sekresi lokal faktor seperti endotelin (vasokonstriktor kuat yang berasal dari endothel). namun efeknya berlangsung sesaat dan perdarahan akan terjadi kembali karena efek ini tidak dimaksudkan untuk mengaktivasi trombosit dan sistem pembekuan.
  • Jejas endothel juga membongkar matriks ekstraselular (ECM) yang sangat trombogenik, yang memungkinkan trombosit menempel dan menjadi aktif, yaitu mengalami suatu perubahan bentuk dan melepaskan granula sekretoris. Dalam beberapa menit, produk yang disekresikan telah merekrut trombosit tambahan (agregasi) untuk membentuk sumbat hemostatik (kejadian ini merupakan proses hemostasis primer).
  • Faktor jaringan, suatu faktor prokoagulan dilapisi membran yang disintesis oleh endothel, juga dilepaskan pada lokasi jejas. Faktor ini bekerja bersama dengan faktor trombosit yang disekresikan untuk mengaktifkan kaskade koagulasi, dan berpuncak pada aktivasi trombin. Selanjutnya trombin akan memecah fibrinogen menjadi fibrin. Trombin juga menginduksi rekrutmen trombosit dan pelepasan granula lebih lanjut. Rangkaian hemostasis sekunder ini memerlukan waktu lebih lama dibandingkan dengan pembentukan sumbatan trombosit awal.
  • Fibrin terpolimerisasi dan agregat trombosit membentuk suatu sumbat permanen yang keras guna mencegah pendarahan lebih lanjut. Pada tahapan ini, mekanisme kontra-regulasi (misalnya t-PA (tissue Plasminogen Activator) digerakkan untuk membatasi sumbat hemostatik pada lokasi jejas.
Apabila cuaca panas, sistem kulit akan merespon dengan mengeluarkan peluh melalui kelenjar keringat pada epidermis kulit untuk mencegah suhu darahnya meningkat, pembuluh darah akan mengembang untuk mengeluarkan panas ke sekitarnya, hal ini juga menyebabkan kulit berwarna merah.
Apabila kadar glukosa dalam darah telah habis atau berkurang dari jumlah tertentu, hati akan dirangsang oleh insulin untuk mengubah glikogen menjadi glukosa supaya dapat digunakan sebagai tenaga untuk kontraksi otot.
C.   Mekanisme pembekuan darah
Pembekuan darah adalah proses yang terjadi ketika komponen cairan darah ditransformasi menjadi material semisolid yang di namakan bekuan darah. Bekuan darah tersusun terutama oleh sel-sel darah yang terperangkap dalam jaringan-jaringan fibrin. Fibrin di bentuk oleh protein dalam plasma melalui urutan reaksi yang kompleks.
Berbagai faktor terlibat dalam tahap-tahap reaksi pembentukan fibrin. Faktor pembekuan darah terdiri dari jalur ekstrinsik dan instrinsik. Apabila di jaringan terjadi trauma, jalur ekstrinsik akan diaktivasi dengan pelepasan substansi yang dinamakan tromboplastin. Sesuai reaksi, protrombin mengalami konversi menjadi trombin, yang pada gilirannya mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Kalsium (faktor IV) merupakan kofaktor yang di perlukan dalam berbagai reaksi ini. Pembekuan darah melalui jalur instrinsik diaktivasi saat lapisan kolagen pembuluh darah terpajan. Faktor pembekuan kemudian secara berurutan akan diaktifkan seperti halnya jalur ekstrinsik, sampai pada akhirnya terbentuk fibrin. Meskipun lebih lama, urutan kejadian ini yang lebih sering terjadi pada pembekuan darah in vivo.
Jalur instrinsik juga bertanggungjawab dalam permulaan pembekuan darah yang terjadi akibat bersentuhan dengan bahan asing lainnya, seperti apabila darah di ambil dan di masukan ke dalam tabung. Oleh sebab itu, antikoagulan sering harus ditambahkan dalam tabung reaksi ketika mengambil spesimen darah untuk di uji diagnostik. Antikoagulan yang biasa digunakan bisa berupa sitrat, yang akan mengikat kalsium plasma, atau heparin yang mencegah konversi protrombin menjadi trombin. Sitrat tidak dapat digunakan sebagai antikoagulan in vivo karena ikatan kalsium plasma dapat menyebabkan hipokalsemia dan kematian. Heparin dapat digunakan secara klinis sebagai antikoagulan. Hepairin juga digunakan secara klinis sebagai antikoagulan dengan menghambat produksi berbagai faktor pembekuan plasma.
Setiap orang mengetahui bahwa pendarahan pada akhirnya akan berhenti ketika terjadi luka atau terdapat luka lama yang mengeluarkan darah kembali. Saat pendarahan berlangsung, gumpalan darah beku akan segera terbentuk dan mengeras, dan luka pun pulih seketika
Keping darah atau trombosit, yang merupakan unsur berukuran paling kecil penyusun sumsum tulang, sangat berperan dalam proses pembekuan darah. Protein bernama faktor Von Willebrand terus-menerus mengalir dan berlalu-lalang ke seluruh penjuru aliran darah. Protein ini berpatroli, dengan kata lain bertugas memastikan bahwa tidak ada luka yang terlewatkan oleh trombosit. Trombosit yang terjerat di tempat terjadinya luka mengeluarkan suatu zat yang dapat mengumpulkan trombosit-trombosit lain di tempat tersebut. Sel-sel trombosit ini kemudian memperkuat luka yang terbuka tersebut. Trombosit lalu mati setelah melakukan tugas menemukan tempat luka.
Trombin adalah protein lain yang membantu pembekuan darah. Zat ini dihasilkan hanya di tempat yang terluka, dan dalam jumlah yang tidak boleh lebih atau kurang dari keperluan. Selain itu, produksi trombin harus dimulai dan berakhir tepat pada saat yang diperlukan. Dalam tubuh terdapat lebih dari dua puluh zat kimia yang disebut enzim yang berperan dalam pembentukan trombin. Enzim ini dapat merangsang ataupun bekerja sebaliknya, yakni menghambat pembentukan trombin. Proses ini terjadi melalui pengawasan yang cukup ketat sehingga trombin hanya terbentuk saat benar-benar terjadi luka pada jaringan tubuh. Segera setelah enzim-enzim pembantu proses pembekuan darah tersebut mencapai jumlah yang cukup, kumpulan protein yang disebut fibrinogen terbentuk. Dalam waktu singkat, terbentuklah benang-benang yang saling bertautan, saling beranyaman dan membentuk jaring pada tempat keluarnya darah. Sementara itu, trombosit atau keping-keping darah yang sedang bertugas tanpa henti, terperangkap dalam jaringan dan mengumpul di tempat yang sama. Apa yang disebut dengan gumpalan darah beku adalah penyumbat luka yang terbentuk akibat berkumpulnya keping darah yang terperangkap ini. Ketika luka telah sembuh sama sekali, gumpalan tersebut akan hilang.
Bekuan yang terbentuk dalam tubuh dapat larut oleh karena kerja fibrinolitik yang terdiri atas plasmin dan berbagai enzim proteolitik. Melalui kerja sistem ini, bekuan dilarutkan ketika jaringan mulai menyembuh, dan sistem vaskular  ke keadaan dasar normal.

D.   Keadaan yang menyebabkan perdarahan hebat pada manusia
Ø  DIC merupakan kelainan perdarahan yang mengancam nyawa, terutama di sebabkan oleh kelainan obstetrik, keganasan metastasis, trauma masif, serta sepsis bakterial. Terjadinya DIC dipicu oleh trauma atau jaringan nekrotik yang akan melepaskan faktor-faktor pembekuan darah. Endotoksin dari bakteri gram negatif akan mengaktivasi beberapa langkah pembekuan darah. Endotoksin ini pula yang akan memicu pelepasan faktor pembekuan darah dari sel-sel mononuklear dan endotel. Sel yang teraktivasi ini akan memicu terjadinya koagulasi yang berpotensi menimbulkan trombin dan emboli pada mikrovaskuler. Pembentukan fibrin yang terus menerus disertai jumlah trombosit yang terus menerus menyebabkan perdarahan dan terjadi efek antihemostatik dari produk degradasi fibrin.
Koagulasi intravaskular diseminata atau lebih populer dengan istilah Disseminated Intravascular Coagulation(DIC) merupakan diagnosis kompleks yang melibatkan komponen pembekuan darah akibat penyakit lain yang mendahuluinya. Keadaan ini menyebabkan perdarahan secara menyeluruh dengan koagulopati konsumtif yang parah.
Ø  Plasenta previa, merupakan suatu keadaan plasenta yang letaknya abnormal, yaitu pada segmen bawah uterus sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir. Apabila ini terjadi pada masa kehamilan dapat menyebabkan perdarahan hebat yang memungkinkan dilakukan histerektomi.
E.    Keadaan tromboemboli pada manusia
Tromboemboli dapat terjadi diman saja sepanjang pembuluh darah kita. Apabila terjadi luka atau pembuluh darah pecah karena sebab lain (dinding yang tipis/tekanan yang kuat) maka terbentuklah trombus melalui serangkaian mekanisme pembekuan darah. Pada luka di kulit, darah yang membeku tampak menutup dari luar, tampak coklat dan teraba keras. Jika pecahnya pembuluh darah terjadi didalam tubuh, maka bekuan tersebut menutup dari dalam pembuluh darah da membentuk dinding baru (sehingga diding menjadi lebih tipis dan agak menonjol / tidak rata). Sewaktu-waktu bekuan tersebut bisa lepas kembali (emboli) karena liran darah bersifat kontinue atau terus menerus, sehingga terjadiah penyumbatan jika bekuan sampai pada pembuluh darah yang lebih kecil. Tromboembli bisa juga berupa udara, misalnya pada pemasangan infus yang tidak hati-hati dapat terjadi msuknya udara ke pembuluh darah. Biasanya tromboemboli bersifat patal jika mengenai  jantung. Tromboemboli dapat juga tersangkut di pru-paru serta menghalangi aliran darah, yang dikenal dengan emboli paru-paru. Pasien dengan emboli paru-paru akan merasakan nyeri dada dan memngalami kesuitan bernafas. Jika tidak ditangani, tromboeboli dapat menyebabkan kematian.
      Berdasarkan tri tunggal virchow, trombosis vena terjadi karena adanya perlambatan aliran atau statis darah, kerusakan pada dnding pembuluh darah, dan adanya peningkatan kecenderungan gumpalan darah (hiperkoagubilitas). Apabila salah sat dari ketiga faktor ini tidak ditemukan atau tidak ada, trombosis vena tidak terjadi.
      Di eropa terdapatnya bekuan darah dipebuluh vena merupakan penyebab kematian dibandingkan dengan penyakkit AIDS, kanker payudara, kanker prostat, dan kombinasi kecelakaan. Selain itu tromboemboli vena menyebabkan kematian lebih dari 500.000 orang di eropa setiap tahunnya. 
      Gejala trombsis vena dalam yaitu nyeri tungkai, nyeri sentuh, kram, kemerahan pada kulit, kulit terasa hangat, dan bengkak. Sedangkan gejala emboli paru yaitu tidak bisa bernafas secara tiba-tiba, batuk darah, nyeri dada, gelisah, dan pingsan. Bahkan pada sebagian besar pasien dengan tromboembli vena tidak memiliki gejala-gejala tersebut. Sehingga pencegahan  merupakan hal terbaik untuk mengurangi resiko terjadinya penyakit ini. 
Istilah penyakit tromboemboli mencerminkan hubungan antara thrombosis, yaitu proses pembentukan bekuan darah, dan resiko emboli yang selalu ada. Seringkali tanda pertama thrombosis vena adalah emboli paru. Angka mortalitas dan morbiditas akibat emboli paru menyebabkan pengobatan thrombosis vena profunda ditekankan pada pencegahan emboli. Sebagai akibatnya, kedua proses tersebut saling berkaitan. (Sylvia, 2006)

F.    Pencegahan pembekuan darah diluar tubuh
1.    Pengumpulan darah dalam wadah disilikonisasi yang mencegah aktivasi kontak bagi factor XI dan XII yang memulai mekanisme pembekuan instrinsik.
2.    Mencampur heparin dengan darah
3.    Menurunkan ion kalsium di dalam darah. Misalnya senyawa oksalat yang dapat larut yang dicampur dalam jumlah yang sangat sedikit dengan contoh darah dapat menyebabkan pengendapan kalsium oksalat dari plasma, sehingga menghambat pembekuan darah. Zat pengionisasi kalsium juga telah digunakan untuk mencegah pembekuan darah termasuk natrium ammonium atau kalsium sitrat (EDTA) . senyawa ini mengikat kalsium dalam darah untuk menyebabkan senyawa kalsium tak terionisasi dan tak adanya ion kalsium mencegah pembekuan darah. Anti koagulan sitrat mempunyai keuntungan sangat penting atas antikoagulan oksalat karena oksalat bersifat toksik bagi tubuh, sedangkan sejumlah kecil sitrat dapat disuntikkan intra vena. Setelah penyuntikan, ion sitrat disingkirkan dari darah dalam beberapa menit oleh hati, dipolimerisasi menjadi glikosa dan kemudian dimetabolisme dengan cara yang biasa. Akibatnya 500ml darah yang telah dibuat tak dapat membeku dengan natrium sitrat biasanya dapat disuntikkan ke resipien dalam beberapa menit tanpa akibat yang mengerikan. Sehingga sitrat menjadi antikoagulan yang digunakan pada transfusi darah
G.   Tes-tes pembekuan darah
Vitamin K merupakan vitamin yang larut dalam lemak, vitamin ini tahan panas namun rusak dalam asam. Vitamin K sangat penting dalam mengaktifkan beberapa jenis protein yang berperan dalam proses pembekuan darah.
Kekurangan vitamin K bisa mengarah pada gangguan pembekuan darah dan meningkatkan perdarahan. Untuk mengetahui apakah kita kekurangan vitamni K

bisa diketahui dengan TES OSTEOKALSIN, yang secara langsung bisa menunjukan kadar vitamin K dalam tubuh.
Ø  Hitung sel darah lengkap (CBC) meliputi penghitungan jumlah sel darah putih, sel darah merah, trombosit permililiter kubik darah vena, begitu pula hitung jenis, persentase setiap jenis sel berinti dalam darah (misalnya persentase polimorfonuklear, persentase limfosit)
Ø  Hitung retikulosit meliputi persenrase limfosit muda (usia 1-2 hari) tidak berintidalam darah perifer diketahui dengan pewarnaan khusus apusan darah karena hanya sel yang mengandung inklusi inti yang mengandung RNA.
Ø  Elektroforesis hemoglobin meliputi setetes darah diletakkan pada medium solid dipajankan pada medan listrik pada saat di rendam dalam larutan penyangga . berbagai hemoglobin berbeda berjalan dengan kecepatan berbeda, tergantung muatan listriknya. Pada akhir prosedur, kertas atau gel tadi diwarnai sehingga masing-masing hemoglobin pada tiap sempel dapat diidentifikasi.
Ø  Uji sickling meliputi setetes darah dicampur dengan setetes bahan pereduksi (natrium metabisulfit). Zat ini akan melepaskan oksigen dari sel darah merah dan merangsang sickling (pembentukan sabit) bila terdapat hemoglobin S. Pembentukan sabit sel darah merah diamati di bawah mikroskop dalam 30 menit setelah darah diambil dari individu yang mempunyai trait atau yang menderita anemia sel sabit. Sel darah normal tidak akan mengalami perubahan.
Ø  Alkalin fosfatase lekosit (LAP) adalah enzim yang dalam kadar tinggi terdapat dalam granula netrofil. Apusan darah tepi diberi pewarnaan khusus digunakan untuk memperkirakan jumlah LAP yang terdapat dalam setia sel. Nilai normalnya 20 sampai 30. Pasien leukemia mielogen kronis yang tidak diobati mempunyai nilai di bawah 20, dan uji ini amat berguna membantu diagnosa CML.
Ø  Uji coomb menentukan adanya imun globulin (sebagai antibodi) pada permukaan eritrosit (uji coomb langsung) atau dalam plasma (uji coomb tidak langsung)
Ø  Waktu perdarahan meliputi uji penyaringan untuk kelainan fungsi trombosit. Merupakan waktu yang dihitung dari mulainya dilakukan perlukaan kulit standart sampai berhentinya perdarahan, biasanya di lengan bawah. Waktu yang memanjang menunjukan adanya defek trombosit yang diturunkan maupun didapat misalnya penyakit von Willebrand atau pemakain aspirin.
Ø  Agregasi trombosit meliputi pengukuran waktu terbentuknya agregat trombosit secara lengkap dalam sample plasma, setelah penambahan bahan seperti epinefrin atau ADP.
Ø  Waktu protrombin meliputi pengukuran aktivitas koagulasi sistem “ekstrinsik” meliputi fibrinogen, protrombin, dan faktor  V, VII, dan X. Digunakan untuk memantau terapi derivat coumarin, begitu juga sebagai penyaring untuk penyakit hati.
Ø  Waktu tromboplastin parsial, suatu uji defisiensi semua faktor pembekuan plasma kecuali faktor VII dan faktor XIII. Biasanya dianggap memanjang jika kadar faktornya berkurang 30% dari normalnya. Biasanya digunakan untuk memantau terapi heparin.







BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Hemostasis dan pembekuan adalah serangkaian kompleks reaksi yang mengakibatkan pengendalian perdarahan melalui pembentukan bekuan trombosit dan fibrin pada tempat cedera.
 Hemostasis merupakan peristiwa penghentian perdarahan akibat putusnya atau robeknya pembuluh darah, sedangkan thrombosis terjadi ketika endothelium yang melapisi pembuluh darah rusak atau hilang.
Pembekuan darah adalah proses dimana komponen cairan darah ditransformasi menjadi material semisolid yang dinamakan bekuan darah.
Pada pembekuan darah yang terjadi adapun factor-faktor pembekuan darah antara lain
  • F.I = fibrinogen
  • F.II = protrombin
  • F.III = tromboplastin jaringan
  • F. IV = ion ca
  • F.V. = proakselerin
  • F.VI. = bentuk aktip f.v.
  • F.VII = prokonvertin
  • F.VIII = ANTI hemofilik faktor (AHG)
  • F.IX = christmas faktor
  • F.X = stuart prower faktor
  • F.XI = plasma tromboplastin antecedent
  • F.XII = hagemen faktor
  • F.XIII = fibrinase faktor
Saran
Penulis dalam pembuatan makalah ini menyarankan pada pembacanya supaya mempelajari dan menalaah isi dari makalah ini sebagai refrensi bacaan dalam belajar. Sebagai penulis, penulisan makalah ini tentunya terdapat banyak kesalahan untuk itu kami sebagai penulis mengaharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sehingga dalam penyusunan makalah selanjutnya menjadi lebih baik.


Daftar Pustaka

Muttaqien,Arif.2009. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan System Kardiovaskuler Dan Hematologi. Jakarta : Salemba Medika.
Razimaulana.wordpress.com/2009/11/10
Smeltzer, Suzana.2001. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah Brunner & Suddart. Jakarta : EKG.

askep klien dengan penyalahgunaan dan ketergantungan NARKOBA (NAPZA)



BAB I
PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG
Masalah penyalahgunaan NAPZA semakin banyak dibicarakan baik di kota besar maupun kota kecil di seluruh wilayah Republik Indonesia. Peredaran NAPZA sudah sangat mengkhawatirkan sehingga cepat atau lambat penyalahgunaan NAPZA akan menghancurkan generasi bangsa atau disebut dengan lost generation (Joewana, 2005).
Faktor individu yang tampak lebih pada kepribadian individu tersebut; faktor keluarga lebih pada hubungan individu dengan keluarga misalnya kurang perhatian keluarga terhadap individu, kesibukan keluarga dan lainnya; faktor lingkungan lebih pada kurang positifnya sikap masyarakat terhadap masalah tersebut misalnya ketidakpedulian masyarakat tentang
NAPZA (Hawari, 2003).
Dampak yang terjadi dari faktor-faktor di atas adalah individu mulai melakukan penyalahgunaan dan ketergantungan akan zat. Hal ini ditunjukkan dengan makin banyaknya individu yang dirawat di rumah sakit karena penyalahgunaan dan ketergantungan zat yaitu mengalami intoksikasi zat dan withdrawal. Peran penting tenaga kesehatan dalam upaya menanggulangi penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA di rumah sakit khususnya
upaya terapi dan rehabilitasi sering tidak disadari, kecuali mereka yang berminat pada penanggulangan NAPZA (DepKes, 2001).
Berdasarkan permasalahan yang terjadi di atas, maka perlunya peran serta tenaga kesehatan khususnya tenaga keperawatan dalam membantu masyarakat yang sedang dirawat di rumah sakit untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat tentang perawatan dan pencegahan kembali penyalahgunaan NAPZA pada klien. Untuk itu
dirasakan perlu perawat meningkatkan kemampuan merawat klien dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan yaitu asuhan keperawatan klien penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA (sindroma putus zat).




B. TUJUAN
Tujuan umum
            Adapin tujuan umum penulis menyusun makalah ini adalah untuk mendukung kegiatan belajar mengajar jurusan keperawatan khususnya di mata kuliah “keperawatan jiwa II”dengan bahan ajar “Asuhan keperawatan klien dengan penyalahgunaan dan ketergantungan obat(NAPZA)”
Tujuan khusus
            Adapun tujuan khusus penulis menuysun makalah ini karena merupakan tugas yang harus di selesaikan untuk mendapat nilai tugas berkaitan dengan mata kulaih  yang bersangkutan.
C. PEMBATASAN MASALAH
            Keperawatn jiwa II merupakan suatu pembelajaran yang sangat kompleks, namun pada kesempatan ini penulis membatasi bahan ajar yaitu membahas tentang Asuhan Keperawatan pada Klien Dengan Penyalahgunaan dan Ketergantungan Obat (NAPZA).
D. METODE PENGUMPULAN DATA
            Data ataupun pembahasan dalam makalah ini di peroleh dari beberapa referensi yaitu buku-bbuku atau sumber bacaan yang relevan  serta media-media lain yang mendukung.









BAB II
PEMBAHASAN


ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN
PENYALAHGUNAAN DAN KETERGANTUNGAN
NARKOBA (NAPZA)
A. PENGERTIAN PENYALAHGUNAAN ZAT
Penyalahgunaan zat adalah penggunaan zat secara terus menerus bahkan sampai setelah terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang parah dan sering dianggap sebagai penyakit.
Adiksi umumnya merujuk pada perilaku psikososial yang berhubungan dengan ketergantungan zat. Gejala putus zat terjadi karena kebutuhan biologikterhadap obat. Toleransi adalah peningkatan jumlah zat untukmemperoleh efek yang diharapkan. Gejala putus zat dan toleransimerupakan tanda ketergantungan fisik (Stuart & Sundeen, 1998).

B. RENTANG RESPONS GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA
Rentang respons ganguan pengunaan NAPZA ini berfluktuasi dari kondisi yang ringan sampai yang berat, indikator ini berdasarkan perilaku yang ditunjukkan oleh pengguna NAPZA.
Respon adaptif                                                                         respon maladaptif
 


Eksperimental     rekreasional    situasional    penyalahgunaan    ketergantungan
(Sumber, Yosep 2007)

Eksperimental: Kondisi pengguna taraf awal, yang disebabkan rasa ingin tahu dari remaja. Sesuai kebutuan pada masa tumbuh kembangnya,klien biasanya ingin mencari pengalaman yang baru atau sering dikatakan taraf coba-coba.
Rekreasional: Penggunaan zat adiktif pada waktu berkumpul dengan teman sebaya, misalnya pada waktu pertemuan malam mingguan, acara ulang tahun. Penggunaan ini mempunyai tujuan rekreasi bersama temantemannya.
Situasional: Mempunyai tujuan secara individual, sudah merupakan kebutuhan bagi dirinya sendiri. Seringkali penggunaan ini merupakan cara untuk melarikan diri atau mengatasi masalah yang dihadapi. Misalnya individu menggunakan zat pada saat sedang mempunyai masalah, stres, dan frustasi.
Penyalahgunaan
Penyalahgunaan: Penggunaan zat yang sudah cukup patologis, sudah mulai digunakan secara rutin, minimal selama 1 bulan, sudah terjadi penyimpangan perilaku mengganggu fungsi dalam peran di lingkungan sosial, pendidikan, dan pekerjaan.
Ketergantungan: Penggunaan zat yang sudah cukup berat, telah terjadi ketergantungan fisik dan psikologis. Ketergantungan fisik ditandai dengan adanya toleransi dan sindroma putus zat (suatu kondisi dimana individu yang biasa menggunakan zat adiktif secara rutin pada dosis tertentu menurunkan jumlah zat yang digunakan atau berhenti memakai, sehingga menimbulkan kumpulan gejala sesuai dengan macam zat yang digunakan. Sedangkan toleransi adalah suatu kondisi dari individu yang mengalami peningkatan dosis (jumlah zat), untuk mencapai tujuan yang biasa diinginkannya.

C. JENIS-JENIS NAPZA
NAPZA dapat dibagi ke dalam beberapa golongan yaitu:

1. Narkotika
Narkotika adalah suatu obat atau zat alami, maupun sintetis yang dapat menyebabkan turunnya kesadaran, menghilangkan atau mengurangi hilang rasa atau nyeri dan perubahan kesadaran yang menimbulkan ketergantungan akan zat tersebut secara terus menerus. Contoh narkotika yang terkenal adalah seperti ganja, heroin, kokain, morfin, amfetamin, dan lain-lain. Narkotika menurut UU No. 22 tahun 1997 adalah zat atau obat berbahaya yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan maupun perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan (Wresniwiro dkk. 1999).
Golongan narkotika berdasarkan bahan pembuatannya adalah:
1.    Narkotika alami yaitu zat dan obat yang langsung dapat dipakai sebagai narkotik tanpa perlu adanya proses fermentasi, isolasi dan proses lainnya terlebih dahulu karena bisa langsung dipakai dengan sedikit proses sederhana. Bahan alami tersebut umumnya tidak boleh digunakan untuk terapi pengobatan secara langsung karena terlalu berisiko. Contoh narkotika alami yaitu seperti ganja dan daun koka.
2.    Narkotika sintetis adalah jenis narkotika yang memerlukan proses yang bersifat sintesis untuk keperluan medis dan penelitian sebagai penghilang rasa sakit/analgesik. Contohnya yaitu seperti amfetamin, metadon, dekstropropakasifen, deksamfetamin, dan sebagainya.
Narkotika sintetis dapat menimbulkan dampak sebagai berikut:
a.    Depresan = membuat pemakai tertidur atau tidak sadarkan diri.
b.    Stimulan = membuat pemakai bersemangat dalam beraktivitas
kerja dan merasa badan lebih segar.
c.    Halusinogen = dapat membuat si pemakai jadi berhalusinasi yang mengubah perasaan serta pikiran.
3.    Narkotika semi sintetis yaitu zat/obat yang diproduksi dengan cara isolasi, ekstraksi, dan lain sebagainya seperti heroin, morfin, kodein, dan lain-lain.
2. Psikotropika
Menurut Kepmenkes RI No. 996/MENKES/SK/VIII/2002, psikotropika adalah zat atau obat, baik sintesis maupun semisintesis yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Zat yang tergolong dalam psikotropika (Hawari, 2006) adalah: stimulansia yang membuat pusat syaraf menjadi sangat aktif karena merangsang syaraf simpatis. Termasuk dalam golongan stimulan adalah amphetamine, ektasy (metamfetamin), dan fenfluramin. Amphetamine sering disebut dengan speed, shabu-shabu, whiz, dan sulph. Golongan stimulan lainnya adalah halusinogen yang dapat mengubah perasaan dan pikiran sehingga perasaan dapat terganggu. Sedative dan hipnotika seperti barbiturat dan benzodiazepine merupakan golongan stimulan yang dapat mengakibatkan rusaknya daya ingat dan kesadaran, ketergantungan secara fisik dan psikologis bila digunakan dalam waktu lama.

3. Zat Adiktif Lainnya
Zat adiktif lainnya adalah zat, bahan kimia, dan biologi dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan kesehatan lingkungan hidup secara langsung dan tidak langsung yang mempunyai sifat karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif, dan iritasi. Bahan-bahan berbahaya ini adalah zat adiktif yang bukan termasuk ke dalam narkotika dan psikoropika, tetapi mempunyai pengaruh dan efek merusak fisik seseorang jika disalahgunakan (Wresniwiro dkk. 1999). Adapun yang termasuk zat adiktif ini antara lain: minuman keras (minuman beralkohol) yang meliputi minuman keras golongan A (kadar ethanol 1% sampai 5%) seperti bir, green sand; minuman keras golongan B (kadar ethanol lebih dari 5% sampai 20%) seperti anggur malaga; dan minuman keras golongan C (kadar ethanol lebih dari 20% sampai 55%) seperti brandy, wine, whisky. Zat dalam alkohol dapat mengganggu aktivitas sehari-hari bila kadarnya dalam darah mencapai 0,5% dan hampir semua akan mengalami gangguan koordinasi bila kadarnya dalam darah 0,10% (Marviana dkk. 2000). Zat adiktif lainnya adalah nikotin, votaile, dan solvent atau inhalasia.

D. FAKTOR PENYEBAB PENYALAHGUNAAN NAPZA
Harboenangin (dikutip dari Yatim, 1986) mengemukakan ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang menjadi pecandu narkoba yaitu faktor eksternal dan faktor internal.
1.   Faktor Internal
a.      Faktor Kepribadian
Kepribadian seseorang turut berperan dalam perilaku ini. Hal ini lebih cenderung terjadi pada usia remaja. Remaja yang menjadi pecandu biasanya memiliki konsep diri yang negatif dan harga diri yang rendah. Perkembangan emosi yang terhambat, dengan ditandai oleh ketidakmampuan mengekspresikan emosinya secara wajar, mudah cemas, pasif, agresif, dan cenderung depresi, juga turut mempengaruhi. Selain itu, kemampuan untuk memecahkan masalah secara adekuat berpengaruh terhadap bagaimana ia mudah mencari pemecahan masalah dengan cara melarikan diri.
b.      Inteligensia
Hasil penelitian menunjukkan bahwa inteligensia
pecandu yang datang untuk melakukan konseling di klinik rehabilitasi pada umumnya berada pada taraf di bawah rata-rata dari kelompok usianya.
c.      Usia
Mayoritas pecandu narkoba adalah remaja. Alasan remaja menggunakan narkoba karena kondisi sosial, psikologis yang membutuhkan pengakuan, dan identitas dan kelabilan emosi; sementara pada usia yang lebih tua, narkoba digunakan sebagai obat penenang.
d.      Dorongan Kenikmatan dan Perasaan Ingin Tahu
Narkoba dapat memberikan kenikmatan yang unik dan tersendiri. Mulanya merasa enak yang diperoleh dari coba-coba dan ingin tahu atau ingin merasakan seperti yang diceritakan oleh teman-teman sebayanya. Lama kelamaan akan menjadi satu kebutuhan yang utama.
e.   Pemecahan Masalah
Pada umumnya para pecandu narkoba menggunakan narkoba untuk menyelesaikan persoalan. Hal ini disebabkan karena pengaruh narkoba dapat menurunkan tingkat kesadaran dan membuatnya lupa pada permasalahan yang ada.
2.   Faktor Eksternal
a.    Keluarga
Keluarga merupakan faktor yang paling sering menjadi penyebab seseorang menjadi pengguna narkoba. Berdasarkan hasil penelitian Tim UKM Atma Jaya dan Perguruan Tinggi Kepolisian Jakarta pada tahun 1995, terdapat beberapa tipe keluarga yang berisiko tinggi anggota keluarganya terlibat penyalahgunaan narkoba, yaitu:
a.    Keluarga yang memiliki riwayat (termasuk orang tua) mengalami ketergantungan narkoba.
b.    Keluarga dengan manajemen yang kacau, yang terlihat dari pelaksanaan aturan yang tidak konsisten dijalankan oleh ayah dan ibu (misalnya ayah bilang ya, ibu bilang tidak).
c.    Keluarga dengan konflik yang tinggi dan tidak pernah ada upaya penyelesaian yang memuaskan semua pihak yang berkonflik.Konflik dapat terjadi antara ayah dan ibu, ayah dan anak, ibu dananak, maupun antar saudara.
d.    Keluarga dengan orang tua yang otoriter. Dalam hal ini, peran orang tua sangat dominan, dengan anak yang hanya sekedar harus menuruti apa kata orang tua dengan alasan sopan santun, adat istiadat, atau demi kemajuan dan masa depan anak itu sendiri –tanpa diberi kesempatan untuk berdialog dan menyatakan ketidaksetujuannya.
e.    Keluarga yang perfeksionis, yaitu keluarga yang menuntut anggotanya mencapai kesempurnaan dengan standar tinggi yang harus dicapai dalam banyak hal.
f.     Keluarga yang neurosis, yaitu keluarga yang diliputi kecemasan dengan alasan yang kurang kuat, mudah cemas dan curiga, sering berlebihan dalam menanggapi sesuatu.

b.    Faktor Kelompok Teman Sebaya (Peer Group)
Kelompok teman sebaya dapat menimbulkan tekanan kelompok, yaitu
cara teman-teman atau orang-orang seumur untuk mempengaruhi seseorang agar berperilaku seperti kelompok itu. Peer group terlibat lebih banyak dalam delinquent dan penggunaan obat-obatan. Dapat dikatakan bahwa faktor-faktor sosial tersebut memiliki dampak yang berarti kepada keasyikan seseorang dalam menggunakan obat-obatan, yang kemudian mengakibatkan timbulnya ketergantungan fisik dan psikologis. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Masalah Psikososial dan Gangguan Jiwa 7 Sinaga (2007) melaporkan bahwa faktor penyebab penyalahgunaan NAPZA pada remaja adalah teman sebaya (78,1%). Hal ini menunjukkan betapa besarnya pengaruh teman kelompoknya sehingga remaja menggunakan narkoba. Hasil penelitian ini relevan dengan studi yang dilakukan oleh Hawari (1990) yang memperlihatkan bahwa teman
kelompok yang menyebabkan remaja memakai NAPZA mulai dari tahap coba-coba sampai ketagihan.

c.    Faktor Kesempatan
Ketersediaan narkoba dan kemudahan memperolehnya juga dapat disebut sebagai pemicu seseorang menjadi pecandu. Indonesia yang sudah menjadi tujuan pasar narkoba internasional, menyebabkan obat-obatan ini mudah diperoleh. Bahkan beberapa media massa melaporkan bahwa para penjual narkotika menjual barang dagangannya di sekolah-sekolah, termasuk di Sekolah Dasar. Pengalaman feel good saat mencoba drugs akan semakin memperkuat keinginan untuk memanfaatkan kesempatan dan akhirnya menjadi pecandu. Seseorang dapat menjadi pecandu karena disebabkan oleh beberapa faktor sekaligus atau secara bersamaan. Karena ada juga faktor yang muncul secara beruntun akibat dari satu faktor tertentu.

E. TANDA DAN GEJALA
Pengaruh NAPZA pada tubuh disebut intoksikasi. Selain intoksikasi, ada
juga sindroma putus zat yaitu sekumpulan gejala yang timbul akibat penggunaan zat yang dikurangi atau dihentikan. Tanda dan gejala intoksikasi dan putus zat berbeda pada jenis zat yang berbeda.

Tabel 1. Tanda dan Gejala Intoksikasi
Opiat
Ganja
Sedatif-hipnotik
alkohol
Amfetamine
·      Eforia
·      Mengantuk
·      bicara cadel
·      konstipasi
·      penurunan
    kesadaran

·      eforia
·      matamerah
·      mulut kering
·      banyak bicara dan     tertawa
·      nafsu makan
     meningkat
·      gangguan
     persepsi

·      pengendalian
     diri berkurang
·      jalan     sempoyongan
·      mengantuk
·      memperpanjang   tidur
·      hilang
     kesadaran

·       mata merah
·       bicara cadel
·       jalan
     sempoyongan
·      perubahan
     persepsi
·      penurunan
     kemampuan
     menilai

·      selalu
     terdorong
     untuk
     bergerak
·      berkeringat
·      gemetar
·      cemas
·      depresi
·      paranoid





Tabel 2. Tanda dan Gejala Putus Zat
Opiat
Ganja
Sedatif-hipnotik
alkohol
Amfetamine
·      nyeri
·      mata dan hidung berair
·      perasaan panas dingin
·      diare
·      gelisah
·      tidak bisa tidur

·      jarang ditemukan

·    cemas
·    tangan gemetar
·    perubahan
persepsi
·       gangguan daya ingat
·       tidak bisa tidur

·        cemas
·        depresi
·        muka merah
·        mudah marah
·        tangan gemetar
·        mual
·        muntah
·        tidak bisa tidur

·        cemas
·        depresi
·        kelelahan
·        energi berkurang
·        kebutuhan tidur meningkat



F. DAMPAK PENYALAHGUNAAN NAPZA
Martono (2006) menjelaskan bahwa penyalahgunaan NAPZAmempunyai  dampak yang sangat luas bagi pemakainya (diri sendiri),keluarga, pihak sekolah (pendidikan), serta masyarakat, bangsa, dan negara.
Bagi diri sendiri.
Penyalahgunaan NAPZA dapat mengakibatkan terganggunya fungsi otak dan perkembangan moral pemakainya, intoksikasi (keracunan), overdosis (OD), yang dapat menyebabkan kematian karena terhentinya pernapasan dan perdarahan otak, kekambuhan, gangguan perilaku (mental sosial), gangguan kesehatan, menurunnya nilai-nilai, dan masalah ekonomi dan hukum.
 Sementara itu, dari segi efek dan dampak yang ditimbulkan pada para pemakai narkoba dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) golongan/jenis:
1)     Upper yaitu jenis narkoba yang membuat si pemakai menjadi aktif seperti sabu-sabu, ekstasi dan amfetamin,
2)     Downer yang merupakan golongan narkoba yang dapat membuat orang yang memakai jenis narkoba itu jadi tenang dengan sifatnya yang menenangkan/sedatif seperti obat tidur (hipnotik) dan obat anti rasa cemas, dan
3)     Halusinogen adalah napza yang beracun karena lebih menonjol sifat racunnya dibandingkan dengan kegunaan medis.
Bagi keluarga.
Penyalahgunaan NAPZA dalam keluarga dapat mengakibatkan suasana nyaman dan tentram dalam keluarga terganggu. Dimana orang tua akan merasa malu karena memilki anak pecandu, merasa bersalah, dan berusaha menutupi perbuatan anak mereka. Stres keluarga meningkat, merasa putus asa karena pengeluaran yang meningkat akibat pemakaian narkoba ataupun melihat anak yang harus berulangkali dirawat atau bahkan menjadi penghuni di rumah tahanan maupun lembaga pemasyarakatan.

Bagi pendidikan atau sekolah.
NAPZA akan merusak disiplin dan motivasi yang sangat tinggi untuk proses belajar. Penyalahgunaan NAPZA berhubungan dengan kejahatan dan perilaku asosial lain yang menganggu suasana tertib dan aman, rusaknya barang-barang sekolah dan meningkatnya perkelahian.
Bagi masyarakat, bangsa, dan negara.
Penyalahgunaan NAPZA mengakibatkan terciptanya hubungan pengedar narkoba dengan korbannya sehingga terbentuk pasar gelap perdagangan NAPZA yang sangat sulit diputuskan mata rantainya. Masyarakat yang rawan narkoba tidak memiliki daya tahan dan kesinambungan pembangunan terancam.
Akibatnya negara mengalami kerugian karena masyarakatnya tidak produktif, kejahatan meningkat serta sarana dan prasarana yang harus disediakan untuk mengatasi masalah tersebut.

G. PENANGGULANGAN MASALAH NAPZA
Penanggulangan masalah NAPZA dilakukan mulai dari pencegahan, pengobatan sampai pemulihan (rehabilitasi).
1) Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan, misalnya dengan:
    i.          Memberikan informasi dan pendidikan yang efektif tentang NAPZA
   ii.          Deteksi dini perubahan perilaku
  iii.          Menolak tegas untuk mencoba (“Say no to drugs”) atau “Katakan tidak pada narkoba”

2) Pengobatan
Terapi pengobatan bagi klien NAPZA misalnya dengan detoksifikasi. Detoksifikasi adalah upaya untuk mengurangi atau menghentikan gejala putus zat, dengan dua cara yaitu:
a)    Detoksifikasi tanpa subsitusi
Klien ketergantungan putau (heroin) yang berhenti menggunakan zat yang mengalami gajala putus zat tidak diberi obat untuk menghilangkan gejala putus zat tersebut. Klien hanya dibiarkan saja sampai gejala putus zat tersebut berhenti sendiri.
b) Detoksifikasi dengan substitusi
Putau atau heroin dapat disubstitusi dengan memberikan jenis opiat misalnya kodein, bufremorfin, dan metadon. Substitusi bagi pengguna sedatif-hipnotik dan alkohol dapat dari jenis anti ansietas, misalnya diazepam. Pemberian substitusi adalah dengan cara penurunan dosis secara bertahap sampai berhenti sama sekali. Selama pemberian substitusi dapat juga diberikan obat yang menghilangkan gejala simptomatik, misalnya obat penghilang rasa nyeri, rasa mual, dan obat tidur atau sesuai dengan gejala yang ditimbulkan akibat putus zat tersebut.
3) Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu melalui pendekatan non medis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna NAPZA yang menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin. Tujuannya pemulihan dan pengembangan pasien baik fisik, mental, sosial, dan spiritual. Sarana rehabilitasi yang disediakan harus memiliki tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan (Depkes, 2001).
Sesudah klien penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA menjalani program terapi (detoksifikasi) dan konsultasi medik selama 1 (satu) minggu dan dilanjutkan dengan program pemantapan (pascadetoksifikasi) selama 2 (dua) minggu, maka yang bersangkutan dapat melanjutkan ke program berikutnya yaitu rehabilitasi (Hawari,2003).
Lama rawat di unit rehabilitasi untuk setiap rumah sakit tidak sama karena tergantung pada jumlah dan kemampuan sumber daya, fasilitas, dan sarana penunjang kegiatan yang tersedia di rumah sakit. Menurut Hawari (2003), bahwa setelah klien mengalami perawatan selama 1 minggu menjalani program terapi dan dilanjutkan dengan pemantapan terapi selama 2 minggu maka klien tersebut akan dirawat di unit rehabilitasi (rumah sakit, pusat rehabilitasi, dan unit lainnya) selama 3-6 bulan. Sedangkan lama rawat di unit rehabilitasi berdasarkan parameter sembuh menurut medis bisa beragam 6 bulan dan 1 tahun, mungkin saja bisa sampai 2 tahun..
Berdasarkan pengertian dan lama rawat di atas, maka perawatan di ruang rehabilitasi tidak terlepas dari perawatan sebelumnya yaitu di ruang detoksifikasi. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada bagan di bawah ini .
Kenyataan menunjukkan bahwa mereka yang telah selesai menjalani detoksifikasi sebagian besar akan mengulangi kebiasaan menggunakan NAPZA, oleh karena rasa rindu (craving) terhadap NAPZA yang selalu terjadi (DepKes, 2001). Dengan rehabilitasi diharapkan pengguna NAPZA dapat:
1.    Mempunyai motivasi kuat untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi
2.    Mampu menolak tawaran penyalahgunaan NAPZA
3.    Pulih kepercayaan dirinya, hilang rasa rendah dirinya
4.    Mampu mengelola waktu dan berubah perilaku sehari-hari dengan baik
5.    Dapat berkonsentrasi untuk belajar atau bekerja
6.    Dapat diterima dan dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulan dengan lingkungannya.
Jenis program rehabilitasi:
a) Rehabilitasi psikososial
Program rehabilitasi psikososial merupakan persiapan untuk kembali ke masyarakat (reentry program). Oleh karena itu, klien perlu dilengkapi dengan pengetahuan dan keterampilan misalnya dengan berbagai kursus atau balai latihan kerja di pusat-pusat rehabilitasi. Dengan demikian diharapkan bila klien selesai menjalani program rehabilitasi dapat melanjutkan kembali sekolah/kuliah atau bekerja.

b) Rehabilitasi kejiwaan
Dengan menjalani rehabilitasi diharapkan agar klien rehabilitasi yang semua berperilaku maladaptif berubah menjadi adaptif atau dengan kata lain sikap dan tindakan antisosial dapat dihilangkan, sehingga mereka dapat bersosialisasi dengan sesama rekannya maupun personil yang membimbing dan mengasuhnya. Meskipun klien telah menjalani terapi detoksifikasi, seringkali perilaku maladaptif tadi belum hilang, keinginan untuk menggunakan NAPZA kembali atau craving masih sering muncul, juga keluhan lain seperti kecemasan dan depresi serta tidak dapat tidur (insomnia) merupakan keluhan yang sering disampaikan ketika melakukan konsultasi dengan psikiater. Oleh karena itu, terapi psikofarmaka masih dapat dilanjutkan, dengan catatan jenis obat psikofarmaka yang diberikan tidak bersifat adiktif (menimbulkan ketagihan) dan tidak menimbulkan ketergantungan. Dalam rehabilitasi kejiwaan ini yang penting adalah psikoterapi baik secara individual maupun secara kelompok. Untuk mencapai tujuan psikoterapi, waktu 2 minggu (program pascadetoksifikasi) memang tidak cukup; oleh karena itu, perlu dilanjutkan dalam rentang waktu 3 – 6 bulan (program rehabilitasi). Dengan demikian dapat dilaksanakan bentuk psikoterapi yang tepat bagi masing-masing klien rehabilitasi. Yang termasuk rehabilitasi kejiwaan ini adalah psikoterapi/konsultasi keluarga yang dapat dianggap sebagai rehabilitasi keluarga terutama keluarga broken home. Gerber (1983 dikutip dari Hawari, 2003) menyatakan bahwa konsultasi keluarga perlu dilakukan agar keluarga dapat memahami aspek-aspek kepribadian anaknya yang mengalami penyalahgunaan NAPZA.






c) Rehabilitasi komunitas
Berupa program terstruktur yang diikuti oleh mereka yang tinggal dalam satu tempat. Dipimpin oleh mantan pemakai yang dinyatakan memenuhi syarat sebagai koselor, setelah mengikuti pendidikan dan pelatihan. Tenaga profesional hanya sebagai konsultan saja. Di sini klien dilatih keterampilan mengelola waktu dan perilakunya secara efektif dalam kehidupannya sehari-hari, sehingga dapat mengatasi keinginan mengunakan narkoba lagi atau nagih (craving) dan mencegah relaps.
Dalam program ini semua klien ikut aktif dalam proses terapi. Mereka bebas menyatakan perasaan dan perilaku sejauh tidak membahayakan orang lain. Tiap anggota bertanggung jawab terhadap perbuatannya, penghargaan bagi yang berperilaku positif dan hukuman bagi yang berperilaku negatif diatur oleh mereka sendiri.

d) Rehabilitasi keagamaan
Rehabilitasi keagamaan masih perlu dilanjutkan karena waktu detoksifikasi tidaklah cukup untuk memulihkan klien rehabilitasimenjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan agamanya masing-masing.Pendalaman, penghayatan, dan pengamalan keagamaan atau keimanan inidapat menumbuhkan kerohanian (spiritual power) pada diri seseorangsehingga mampu menekan risiko seminimal mungkin terlibat kembali dalam penyalahgunaan NAPZA apabila taat dan rajin menjalankan ibadah, risiko kekambuhan hanya 6,83%; bila kadang-kadang beribadah risiko kekambuhan 21,50%, dan apabila tidak sama sekali menjalankan ibadah agama risiko kekambuhan mencapai 71,6%.















ASUHAN KEPERAWATAN

A.  PENGKAJIAN
1. Kaji situasi kondisi penggunaan zat
·         Kapan zat digunakan
·         Kapan zat menjadi lebih sering digunakan/mulai menjadi masalah
·         Kapan zat dikurangi/dihentikan, sekalipun hanya sementara
2. Kaji risiko yang berkaitan dengan penggunaan zat
·         Berbagi peralatan suntik
·         Perilaku seks yang tidak nyaman
·         Menyetir sambil mabuk
·         Riwayat over dosis
·         Riwayat serangan (kejang) selama putus zat
3.Kaji pola penggunaan
·         Waktu penggunaan dalam sehari (pada waktu menyiapkan makan malam)
·         Penggunaan selama seminggu
·         Tipe situasi (setelah berdebat atau bersantai di depan TV)
·         Lokasi (timbul keinginan untuk menggunakan NAPZA setelah berjalan melalui rumah bandar)
·         Kehadiran atau bertemu dengan orang-orang tertentu (mantan pacar, teman    pakai)
·         Adanya pikiran-pikiran tertentu (“Ah, sekali nggak bakal ngerusak” atau “Saya udah nggak tahan lagi nih, saya harus make”)
·         Adanya emosi-emosi tertentu (cemas atau bosan)
·         Adanya faktor-faktor pencetus (jika capek, labil, lapar, tidak dapat tidur atau stres yang berkepanjangan)
4.Kaji hal baik/buruk tentang penggunaan zat maupun tentang kondisi bila tidak menggunakan.









I.              POHON MASALAH: 
Resti Menciderai Diri

Intoksikasi                 (CP)

HDR

Gangguan Konsep Diri
Atau
Koping Mal Adaptif

B.   DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.    Ancaman kehidupan
a.    Gangguan keseimbangan cairan: mual, muntah berhubungan dengan pemutusan zat opioda
b.    Resiko terhadap amuk berhubungan dengan intoksikasi sedatif hipnotik
c.    Resiko cidera diri berhubungan dengan intoksikasi aklkohol, sedatif, hipnotik
d.    Panik berhubungan dengan putus zat alkohol
2.    Intoksikasi
a.    Cemas berhubungan dengan intoksikasi ganja
b.    Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan  intoksikasi sedatif hipnotik, alcohol, opioda
3.    Withdrawl
a.    Perubahan proses piker: waham berhubungan dengan putus zat alcohol, sedatif, hipnotik
b.    Nyeri berhubungan dengan putus zat opioda, MDMA: extasy
c.    Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan putus zat opioda

4.    Pasca detoksikasi
a.    Gangguan pemusatan perhatian berhubungan dengan dampak penggunaan zat adiktif
b.    Gangguan konsep diri : harga diri rendah berhubungan dengan tidak mampu mengenal kualitas yang positif dari diri sendiri.
c.    Resiko melarikan diri berhubungan dengan ketergantungan tehadap zat adiktif

Dari pohon masalah, diagnosa yang mungkin timbul :
1.    Resiko tinggi menciderai diri sendiri berhubungan dengan intoksikasi
2.    Intoksikasi berhubungan dengan menarik diri
3.    Harga diri rendah berhubungan dengan gangguan konsep diri
4.    Harga diri rendah berhubungan dengan koping mal adaptif

C.   RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
a.         Kondisi overdosis
Tujuan : Klien tidak mengalami ancaman kehidupan
Rencana tindakan:
a.   Observasi tanda – tanda vital, kesadaran pada 15 menit pada 3 jam pertama, 30 menit pada 3 jam kedua tiap 1 jam pada 24 jam berikutnya
b.   Bekerja sama dengan dokter untuk pemberian obat
c.   Observasi keseimbangan cairan
d.   Menjaga keselamatan diri klien
e.   Menemani klien
f.    Fiksasi bila perlu

b.        Kondisi intoksikasi
Tujuan: intoksikasi pada klien dapat diatasi, kecemasan berkurang/hilang
Rencana tindakan:
a.   Membentuk hubungan saling percaya
b.   Mengkaji tingkat kecemasan klien
c.   Bicaralah dengan bahasa yang sederhana, singkat mudah dimengerti
d.   Dengarkan klien berbicara
e.   Sering gunakan komunikasi terapeutik
f.    Hindari sikap yang menimbulkan rasa curiga, tepatilah janji, memberi jawaban nyata, tidak berbisik di depan klien, bersikap tegas, hangat dan bersahabat

c.     Kondisi withdrawl

a.Observasi tanda- tanda kejang
b.Berikan kompres hangat bila terdapat kejang pada perut
c.Memberikan perawatan pada klien waham, halusinasi: terutama untuk menuunkan perasaa yang disebabkan masalah ini: takut, curiga, cemas, gembira berlebihan, benarkan persepsi yang salah
d.Bekerja sama dengan dokter dalam memberikan obat anti nyeri

d.    Kondisi detoksikasi

a.      Melatih konsentrasi: mengadakan kelompok diskusi pagi
b.      Memberikan konselin untuk merubah moral dan spiritual klien selama ini yang menyimpang, ditujukan agar klien menjadi manusia yang bertanggung jawab, sehat mental, rasa bersyukur, dan optimis
c.      Mempersiapkan klien untuk kembali ke masyarakat, dengan bekerja sama dengan pekerja social, psikolog.

Menurut Keliat dkk. (2006), tujuan tindakan keperawatan untuk keluarga
adalah sebagai berikut:
a.    Keluarga dapat mengenal masalah ketidakmampuan anggota keluarganya berhenti menggunakan NAPZA.
b.    Keluarga dapat meningkatkan motivasi klien untuk berhenti.
c.    Keluarga dapat menjelaskan cara merawat klien NAPZA.
d.    Keluarga dapat mengidentifikasi kondisi pasien yang perlu dirujuk


Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan pada keluarga anatara lain:
1)    Diskusikan tentang masalah yang dialami keluarga dalam merawat klien
2)    Diskusikan bersama keluarga tentang penyalahgunaan/ketergantungan zat
3)    (tanda, gejala, penyebab, akibat) dan tahapan penyembuhan klien (pencegahan, pengobatan, dan rehabilitasi).
4)    Diskusikan tentang kondisi klien yang perlu segera dirujuk seperti: intoksikasi berat, misalnya penurunan kesadaran, jalan sempoyongan, gangguan penglihatan (persepsi), kehilangan pengendalian diri, curiga yang berlebihan, melakukan kekerasan sampai menyerang orang lain. Kondisi lain dari klien yang perlu mendapat perhatian keluarga adalah gejala putus zat seperti nyeri (sakau), mual sampai muntah, diare, tidak dapat tidur, gelisah, tangan gemetar, cemas yang berlebihan, depresi (murung yang berkepanjangan).
5)    Diskusikan dan latih keluarga merawat klien NAPZA dengan cara: menganjurkan keluarga meningkatkan motivasi klien untuk berhenti atau menghindari sikap-sikap yang dapat mendorong klien untuk memakai NAPZA lagi (misalnya menuduh klien sembarangan atau terus menerus mencurigai klien memakai lagi); mengajarkan keluarga mengenal ciri-ciri klien memakai NAPZA lagi (misalnya memaksa minta uang, ketahuan berbohong, ada tanda dan gejala intoksikasi); ajarkan keluarga untuk membantu klien menghindar atau mengalihkan perhatian dari keinginan untuk memakai NAPZA lagi; anjurkan keluarga memberikan pujian bila klien dapat berhenti walaupun 1 hari, 1 minggu atau 1 bulan; dan anjurkan keluarga mengawasi klien minum obat.

Strategi Pertemuan dengan Pasien dan Keluarga Penyalahgunaan
dan Ketergantungan NAPZA
A Pasien
Sp 1
1.    Membina hubungan saling percaya
2.    Mendiskusikan dampak NAPZA
3.    Mendiskusikan cara meningkatkan motivasi
4.    Mendiskusikan cara mengontrol keinginan
5.    latihan cara meningkatkan motivasi
6.    Latihan cara mengontrol keinginan
7.    Membuat jadwal aktivitas

Sp 2
8.    Mendiskusikan cara menyelesaikan masalah
9.    Mendiskusikan cara hidup sehat
10.  Latihan cara menyelesaikan masalah
11.  Latihan cara hidup sehat
12.  Mendiskusikan tentang obat

B Keluarga
Sp 1
1.    Mendiskusikan masalah yang dialami
2.    Mendiskusikan tentang NAPZA
3.    Mendiskusikan tahapan penyembuhan
4.    Mendiskusikan cara merawat
5.    Mendiskusikan kondisi yang perlu dirujuk
6.    Latihan cara merawat
Sp 2
7.    Mendiskusikan cara meningkatkan motivasi
8.    Mendiskusikan pengawasan dalam minum obat
(Sumber: Keliat dkk. 2006)

D.    EVALUASI
Evaluasi yang diharapkan dari klien adalah sebagai berikut:
1.    Klien mengetahui dampak NAPZA
2.    Klien mampu melakukan cara meningkatkan motivasi untuk berhenti
3.    menggunakan NAPZA
4.    Klien mampu mengontrol kemampuan keinginan menggunakan