Minggu, 04 September 2011

Laporan pendahuluan: askep halusinasi


LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN HALUSINASI

A.        Masalah Utama Klien
Klien mengalami “halusinasi”

B.        Proses Terjadinya Masalah
-       Pengertian
Halusinasi dapat didefinisikan sebagai terganggunya persepsi sensori seseorang, dimana tidak terdapat stimulus (Varcarolis)
Tipe halusinasi yang paling sering adalah halusinasi pendengaran (Auditoring-Hearing, Voices or Sound), Penglihatan (Visual-Seeing, persons or things), Penciuman (Olfactory-Smelling Odors), Pengecapan (Gustatory-experience taste)

-       Factor Predisposisi
a.   Faktor Perkembangan
Tugas perkembangan klien yang tergangggu misalnya rendahnya control dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih rentan terhadap stress.
b.   Faktor Sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi (Unwanted Child) akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya kepada lingkungannya.
c.   Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress yang berlebihan dialami seseorang maka didalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang bersifat halusinogenik neurokimia seperti Buffofenon dan Dimetytranferase (DMP). Akibat stress berkepanjangan menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter ota. Misalnya terjadi ketidakseimbangan asetilkolin dan dopamine.


d.   FaktorPsikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertangguangjawab mudah terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif.Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya.Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam hayal.
e.   FaktorGenetikdan Pola Asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orangtua skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil stuck menunjukkan bahwa factor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh terhadap penyakit ini.

-       Faktor Presipitasi
a.   Perilaku
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak aman, gelisah dan bingung, perilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Menurut Rawlins dan Heacock, 1993 mencoba memecahkan masalah halusinasi berdasarkan atas hakekat keberadaan seorang individu sebagai makhluk yang dibangun atas dasar unsure-unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari lima dimensi, yaitu:
1.   Dimensi Fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik, seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan tidur untuk waktu yang lama.
2.   Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi.Isi dari halusinasi dapat beruap perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut., hingga kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
3.   Dimensi Intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls-impuls yang menekan, namun meruapakan suatu hal yang menimbulkan  kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol semua perilaku klien.
4.   DimensiSosial
Klien mengalami gangguan interaksi social dalam fase awal dan comforting, klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata sangat membahayakan. Klien asyik dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memnuhi kebutuhan akan interaksi social. Control diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi system control oleh individu tersebut, sehingga jika perintah halusinasi berupa ancaman, dirinya atau orang lain individu cenderung untuk itu. Oleh karena itu, aspek penting dalam melaksanakan intervensi keperawatan klien dengan mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta mengusahakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi dengan lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung.
5.   DimensiSpiritual
Secara spiritual klien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas tidak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri. Irama sirkadiannya terganggu, karena ia sering tidur larut malam dan bangun sangat siang. Saat terbangun terasa hampa dan tidak jelas tujuan hidupnya.Ia sering memakai takdir tetapi lemah dalam upaya menjemput rezeki, menyalahkan lingkungan dan orang lain yang menyebabkan takdirnya terbunuh.

-       Psikopatologi
Halusinasi merupakan bentuk yang paling sering dari gangguan persepsi.Bentuk halusinasi ini bisa berupa suara-suara bising atau mendengung, tapi yang paling penting berupa kata-kata yang tersusun dalam bentuk kalimat yang agak sempurna.Biasanya kalimat tadi membicarakan mengenai keadaan pasien sendiri atau yang dialamatkan pada pasien itu, akibatnya pasien bisa bertengkar atau bicara dengan suara halusinasi itu.Bisa pula pasien terlihat seperti bersikap mendengar atau bicara-bicara sendiri atau bibirnya bergerak-gerak.Psikopatologi dari halusinasi yang pasti belum diketahui. Banyak teori  yang diajukan yang menekankan pentingnya factor-faktor psikologik, fisiologik dll. Ada yang mengatakan bahwa dalam keadaan terjaga yang normal otak dibombardir oleh aliran stimulus yang dating dari dalam tubuh ataupun luar tubuh. Input ini akan menginhibisi persepsi yang lebih dari munculnya ke alam sadar. Bila input ini dilemahkan atau tidak ada sama sekali seperti kita jumpai dalam keadaan normal atau psatologis maka materi-materi yang ada dalam unconscious atau preconscious bisa dilepaskan dalam bentuk halusinasi. Pendapat lain mengatakan bahwa halusinasi dimulai dengan adanya keinginan yang direpresi ke unconscious dan kemudian karena sudah retaknya kepribadian dan rusaknya daya menilai realitas maka keinginan tadi diproyeksikan keluar dalam bentuk stimulus externa.

C.       
Defisit Perawatan Diri: mandi/ Kebersihan, berpakaian
Resiko tinggi perilaku kekerasan
Resiko gangguan persepsi sensory: Halusinasi
Gangguan interaksi social: Menarik diri
Gangguan konsep diri: Harga diri rendah
Intoleransi aktifitas
Pohon Masalah

Efek

Core Problem        

Etiologi                  

                               Menarik Diri





D.        Masalah keperawatan dan Data Yang Perlu Dikaji
1.   Masalah Keperawatan
a.   Resiko tinggi perilaku kekerasan
b.   Resiko persepsi sensori: halusinasi
c.   Gangguan interaksi social: menarik diri
d.   Gangguan konsep diri: harga diri rendah

2.   Data Yang Perlu Dikaji
a.   Perubahan sensori persepsi: halusinasi
1.   Data Subjektif
a)  Klien mengatakan mendengar bunyi yang tidak berhubungan dengan stimulus nyata
b)  Klien melihat gambaran tanpa ada stimulus yang nyata
c)  Klien mengatakan mencium bau tanpa ada stimulus
d)  Klien merasa ada sesuatu pada kulitnya
e)  Klien takut pada suara/bunyi/gambar yang dilihat dan didengar
f)   Klien ingin memukul/melempar barang-barang

2.   Data Objektif
a)  Klien berbicara dan tertawa sendiri
b)  Klien bersikap seperti mendengar/melihat sesuatu
c)  Klien berhenti bicara di tengah kalimat untuk  mendengarkan sesuatu
d)  Disorientasi

E.        Diagnosa Keperawatan
§  Perubahan persepsi sensori: halusinasi

F.         Rencana Tindakan Keperawatan
TUM      : Klien dapat mengendalikan halusinasinya.
TUK 1    : klien dapat membina hubungan saling percaya
Intervensi :
a.  Salam teraupetik, perkenalan, jelaskan tujuan, ciptakan lingkungan yang tenang, buat kontrak yang jelas (waktu, tempat, topik)
b.  Beri kesempatan mengungkapkan perasaan
c.  Empati
d.  Ajak membicarakan hal – hal yang ada di lingkungan


TUK 2    : Klien dapat mengenal halusinasinya
Intervensi :
a.  Kontak sering dan singkat
b.  Observasi tingkah laku yang terkait dengan halusinasi (verbal dan non verbal)
c.  Bantu mengenal halusinasinya    dengan menggunakan apakah ada suara yang didengar, dan apa yang dikatakan oleh suara itu. Katakana bahwa perawat percaya klien mendengar suara itu, tetapi perawat tidak mendengarnya  .katakana bahwa perawat akan membantu.
d.  Diskusi tentang situasi yang menimbulkan halusinasi, waktu, frekuensi terjadinya halusinasi serta apa yang dirasakan saat terjadi halusinasi.
e.  Dorong untuk mengungkapkan perasaan saat terjadi halusinasi

TUK 3    : Klien dapat mengontrol halusinasinya
Intervensi :
a.  Identifikasi bersama tentang cara tindakan jika terjadi halusinasi
b.  Diskusikan manfaat cara yang digunakan klien atau cara baru untuk mengontrol halusinasinya.
c.  Bantu memilih dan melatih cara memutus halusinasi, bicara dengan orang lain bila muncul halusinasi, melakukan kegiatan, mengatakan pada suara tersebut “ Saya tidak mau dengar “.
d.  Tanyakan hasil upaya yang telah dipilih / dilakukan .
e.  Beri kesempatan melakukan cara yang telah dipilih dan diberi  pujian jika berhasil.
f.   Libatkan klien TAK : stimulasi persepsi

TUK 4    : Klien dapat dukungan dari keluarga
Intervensi :
a.  Beri pendidikan  kesehatan pada pertemuan keluarga tentang gejala cara, memutus halusinasi, cara merawat, informasi waktu flow up atau kapan perlu mendapat bantuan.
b.  Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga
              
TUK 5    : Klien dapat menggunakan obat dengan benar  
Intervensi :
a.  Diskusikan tentang dosis, nama, frekuensi, dan efek samping minum obat.
b.  Bantu menggunakan obat dengan prinsip 5 benar (nama pasien, obat, dosis, cara, waktu)
c.  Anjurkan membicarakan efek dan efek samping obat yang dirasakan .
d.  Beri reinforcement positif minum obat dengan benar.























SP1 pasien  : Membantu pasien mengenal halusinasi, menjelaskan cara mengontrol halusinasi, mengajarkan pasien mengontrol halusinasi dengan menghardik halusinasi.

v  Orientasi
“Selamat pagi! Saya perawat yang akan merawat anda. Saya suster SS, senang dipanggil suster S. Nama anda siapa? Senang di panggil apa?”
“ Bagaimana perasaan D hari ini? Apa keluhan D saat ini?”
“Baiklah, bagaimana kalau kita bercakap-cakap tentang suara yang selama ini D dengar, tetapi tidak tampak wujudnya? Dimana kita duduk? Diruang tamu? Berapa lama? Bagaimana kalau 30 menit?”

v  Kerja
“Apakah D mendengar suara tanpa ada wujudnya? Apa yang dikatakan suara itu?”
“Apakah terus menerus terdengar atau sewaktu-waktu? Kapan D paling sering mendengar suara itu? Berapa kali sehari D alami? Pada keadaan apa suara itu terdengar? Apakah pada waktu sendiri?”
“Apa yang D rasakan pada saat mendengar suara itu? Apa yang D lakukan saat mendengar suara itu? Apakah dengan cara itu suara-suara itu hilang? Bagaimana kalau kita belajar cara-cara untuk mencegah suara-suara itu muncul?”
“D, ada empat cara untuk mencegah suara-suara itu muncul. Pertama, dengan menghardik suara tersebut. Kedua, dengan cara bercakap-cakap dengan orang lain. Ketiga, melakukan kegiatan yang sudah terjadwal, dan yang keempat minum obat dengan teratur.”
“Bagaimana kalau kita belajar satu cara dulu, yaitu dengan menghardik. Caranya adalah saat suara-suara itu muncul, langsung D bilang, pergi saya tidak mau dengar. Saya tidak mau dengar, kamu suara palsu” begitu diulang-ulang sampai suara itu tidak terdengar lagi. Coca D peragakan! Nah begitu… bagus! Coba lagi! Ya bagus D sudah bisa.”

v  Terminasi
“Bagaimana perasaan D setelah memeragakan latihan tadi? Kalu suara-suara itu muncul lagi, silahkan coba cara tersebut! Bagaimana kalu kita buat jadwal latihannya. Mau jam berapa saja latihannya? (Anda masukkan kegiatan latihan menghardik halusinasi dalam jadwal kegiatan harian pasien). Bagaimana kalau kita bertemu lagi untuk belajar dan latihan mengendalikan suara-suara dengan cara yang ke dua? Pukul berapa D? Bagaimana kalau dua jam lagi? Dimana tempatnya.”
“Baiklah, sampai jumpa”.

SP 2 Pasien : Melatih pasien mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap bersama orang lain.

v  Orientasi
“Selama pagi, D! Bagaimana perasaan D  hari ini?  Apakah suara-suaranya masih muncul? Apakah sudah dipakai cara yang telah kita latih? Berkurangkah suara-suaranya? Bagus! Sesuai janji kita tadi, saya akan latih cara kedua untuk mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap dengan orang lain. Kita akan latihan selama 20 menit. Mau dimana? Disini saja?”

v  Kerja
“Cara kedua untuk mencegah/mengontrol halusinasi adalah dengan bercakap-cakap dengan orang lain. Jadi kalu D mulai mendengar suara-suara, langsunga saja cari teman untuk diajak ngobrol. Minta teman untuk ngobrol dengan D. Contohnya begini, “Tolong, saya mulai dengar suara-suara. Ayo ngobrol dengan saya!” Atau kalau ada orang dirumah, misalnya kakak D, katakan,”Kak, ayo ngobrol dengan D. D sedang dengar suara-suara.” Begitu D. Coba D lakukan seperti saya tadi lakukan. Iya, begitu. Bagus! Coba sekali lagi! Bagus! Nah, latih terus ya D!” Disini,  D dapat mengajak perawat atau pasien lain untuk bercakap-cakap.

v  Terminasi
“Bagaimana perasaan D setelah latihan ini? Jadi, sudah ada berapa cara yang D pelajari untuk mencegah suara-suara itu? Bagus, coblah kedua cara ini kalau D mengalami halusinasi lagi. Bagaiman kalau kita masukkan dalam jadwal kegiaan harian D. mau jam berapa latihan bercakap-cakap? Nah, nanti kalau secara teratur sewaktu-waktu suara itu muncul! Besol pagi saya akan kesini lagi. Bagimana kalau kita latih cara yang ketiga, yaitu melakukan aktifitas terjadwal? Mau jam berapa? Bagaimana kalau jam 10 pagi? Mau dimana? Disini lagi? Sampai besok ya. Selamat pagi!”

SP 3 Pasien : Melatih pasien mengontrol halusinasi dengan melaksanakan  aktifitas terjadwal.

v  Orientasi
“Slamat pagi D! bagaimana perasaan D hari ini?”
“Apakah suara-suaranya masih muncul? Apakah sudah dipakai dua cara yang telah kita latih? Bagaimana hasilnya? Barus !”
“Sesuai janji kita, hari ini kita akan belajar cara yang ketiaga untuk mencegah halusinasi yaitu melakukan kegiatan terjadwal.”
“Mau dimana kita bicara? Baik, kita duduk diruang tamu. Berapa lama kita bicara? Bagaimana kalau 30 menit? Baiklah.!

v  Kerja
“Apa saja yang biasa D lakukan? Pagi-pagi apa kegiatannya? Terus jam berikutnya apa?” (terus dikaji hingga didapatkan kegiatannya sampai malam)”
“ Wah banyak sekali kegiatannya! Mari kita latih dua kegiatan hari ini (latihn kegiatan tersebut). Bagus sekali jika D bisa lakukan.”
“Kegiatan ini dapat D lakukan untuk mencegah suara tersebut muncul. Kegiatan yang lain akan kita latih lagi agar dari pagi sampai malam ada kegiatan.”

v  Terminasi
“Bagaimana perasaan D setelah kita bercakap-cakap cara yang ketiga untuk mencegah suara-suara? Bagus sekali! Mari kita masukkan dalam jadwal kegiatan D. coba lakukan sesuai jadwal ya!”(perawat dapat melatih aktifitas yang lain pada pertemuan berikut sampai terpenuhi seluruh aktifitas dari pagi sampai malam).
“Bagaimana kalau menjelang malan siang nanti, kita membahas cara minum obat yang baik serta guna obat. Mau jam berapa? Bagaimana kalau jam 12? Diruang makan ya! Sapai jumpa!”


SP 4 Pasien : Melatih pasien minum obat secara teratur.

v  Orientasi
“Selamat siang D! Bagaimana perasaan D siang ini? Apakah suara-suaranya masih muncul? Apakah sudah digunakan tiga cara yang sudah kita latih? Apakan jadwal kegiatannya sudah dilaksanakan? Apakah pagi tadi sudah minum obat? Baik. Hari ini kita akan mendiskusikan tentang obat-obatan yang D minum. Kita akan diskusi selama 20 menit sambil menunggu makan siang. Disini saja ya D.”

v  Kerja
“D, adakah bedanya setelah minum obat secara teratur? Apakah suara-suara berkurang atau menghilang? Minum obat sangat penting agar suara-suara yang D dengar dan mengganggu selama ini tidak muncul lagi. Berapa macam obat yang D minum?. (perawat menyiapkan obat pasien) ini yang warna orange (chlorpromazine, CPZ) gunanya untuk menghilangkan suara-suara. Obat yang warna putih (tpyhexilpendil,THP) gunanya agar D merasa rilex dan tidak kaku, sedangkan yang merah jambu (haloperidol,HIP) berfungsi untuk menenangkan pikiran dan menghilangkan suara-suara. Semua obat ini diminum 3 kali sehari, tiap pukul 7 pagi, 1 siang, dan 7 malam. Kalau suara-suara sudah hilang obatnya tidak boleh dihentikan. Nanti konsultasikan dengan dokter, sebab kalau putus obat, D akan kambuh dan sulit sembuh seperti keadaan semula. Kalau obat habis, D bisa minta ke dokter untuk mendapatkan obat lagi. D juga harus teliti saat minum obat-obatan ini. Pastikan obatnya benar, artinya D harus memastikan bahwa itu benar-benar obat punya D. jangan keliru dengan obat milik orang lain. Baca nama kenasannya. Pastikan obat diminum pada waktunya, dengan cara yang benar, yaitu diminum sesudah makan da tepat jamnya. D juga harus memperhatikan berapa jumlah obat sekali minum, dan D juga harus cukup minum 10 gelas per hari.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar